Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Antologi bersama FLP Purwakarta

Pertama kali bergabung dengan Forum Lingkar Pena tepatnya kapan , lupa. Hehe... Yang pasti saat itu, saya di ajak salah seorang teman yang juga hobi menulis untuk bergabung disana. Saya mendengar Forum Lingkar Pena saat SMK. Seringnya membaca majalah Annida dan menemukan cerpen-cerpen bagus yang dimuat, membuat saya semakin jatuh cinta untuk belajar menulis. Saat membaca profil penulis, banyak diantara mereka adalah anggota Forum Lingkar Pena. Jadilah saat teman saya mengajak untuk bergabung, saya mengiyakan.

Beberapa kali pertemuan saja saya bisa bergabung. Sayangnya karena kesibukan saya bekerja dan jadwal bekerja saya pada saat itu, saya lebih sering absen. Padahal pasti ada banyak kajian ilmu yang saya lewatkan. Salut untuk teman-teman saya yang hingga kini masih aktif bergabung dan belajar :) Lanjutkan...

Hingga kini setelah menikah dan sudah tidak menjadi anggota aktif lagi, saya bersyukur pernah ikut belajar dan menjadi bagian dari Forum Lingkar Pena. Eh, ada yang belum hafal Forum Lingkar Pena itu apa? Ini dia linknya. Bisa dibaca ya :D hehehe
https://flpkita.wordpress.com/about/sejarah-forum-lingkar-pena-2/


                                  




Dan sebuah antologi bersama teman-teman FLP menjadi kado bagi saya dan sebuah kenang-kenangan :) Cerpen saya disini judulnya "Tuan besar dan sebuah komedi" Penasaran ingin baca? Yuks dipesan. Hehehe....

Untuk teman-teman yang suka menulis, kita bisa bergabung di grup kepenulisan. Contohnya ya FLP ini. Apalagi sekarang lebih mudah. Via online pun bisa. Di fb ada banyak grup tempat kita bisa belajar. Banyak para penulis handal yang berbaik hati mau memberi ilmunya loh. Yuks manfaatkan itu semua :)







[ Read More ]

Uang dibuang, oh sayang

Pernahkah melihat tayangan berita bahwa seorang sosialita memiliki tas yang harganya puluhan bahkan ratusan juta rupiah? Lalu apa yang terbayang dalam benak kita? kalau saya pribadi langsung berucap, “itu tas yang harganya selangit dibelinya pakai uang betulan ya? Bukan pakai daun kan?” :D hihi


Karena bagi saya, jumlahnya amat banyak. Duh, uang puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk beli satu tas saja? OMG... Tapi itu memang terjadi. Berbagai tas branded yang menjadi kebutuhan bagi kaum sosialita sejajar harganya dengan benda berharga lainnya. Kalau berlian sih masih mending. Lha ini tas? Hihi.. seorang teman berkata, “Ngapain juga sih lo sibuk ngurusin mereka. Duit-duit mereka kelesss. Berarti mereka memang sanggup beli” Hihi...yoi  mamen, memang urusan mereka ko mau beli tas yang harganya berapapun juga. Ini kan cuma sekedar komentar saja. Karena bagi saya yang tiap bulan harus mengatur keuangan sebaik-baiknya ko rasanya miris ya? Mbok ya duitnya mending dikasih saya aja gitu ya sekian persen dari harga tas :D hihi.. ngareppp. Siapa lu? :D



Dunia perempuan memang banyak perniknya. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Suami pernah berkata, “Jadi perempuan ko ribet banget ya. Banyak keperluannya”  lalu saya timpali, “Eits, nggak semuanya atuh sayang...” Hmm, kembali lagi ke pribadi  masing-masing. Jujur, saya pun suka barang-barang semacam itu. Nggak dipungkiri kadang kalau melihat deretan barang-barang itu di toko rasanya ingin bawa pulang semua. Tapi biasanya saya langsung tarik nafas sambil berkata, “Jauhkan diriku dari godaan belanja...” sambil komat kamit :D

Dan untunglah saya masih bisa meredam keinginan kalau masuk toko. Kalau punya barang-barang branded dan harganya selangit begitu apakah karena gengsi semata ataukah karena memang mereka hobi belanja? I dont know. Mungkin setiap orang punya alasan sendiri. Tapi kalau bicara soal hobi, rasanya jika seseorang sudah suka dan sanggup membeli, uang sudah tidak dipertimbangkan lagi. Kalau orang kaya begitu kali ya. Saking banyaknya uang, bingung mau diapakan lagi. Alternatifnya ya belanja. Mending sumbangin ke saya aja atuh, Pak, Bu kalau bingung uangnya mau dikemanakan :D ngarep lagiiii...

                                 


Dan nggak hanya kaum perempuan saja loh yang punya hobi belanja pada benda yang harganya fantastis. Tapi kaum pria juga. Kalau saya hanya bicara soal perempuan yang punya hobi mahal ko rasanya nggak adil ya? Hihi.. Lagi-lagi saya tahu dari media. Kebanyakan mereka lebih memilih barang otomotif seperti mobil atau motor. Eh, tapi nggak juga deh karena balik lagi ke orangnya suka benda apa. Saya pernah melihat ada seorang pria yang mengoleksi miniatur pesawat dan mainan yang harganya pun tidak kalah mahal. Ckckck... ngences jadinya. Hihi... bukan karena ingin punya juga barang-barang semacam itu. Tapi ngences lihat uangnya yang dibelanjakan para jutawan itu. Hihi :D

Ah, sudahlah. Lama-lama tambah stress nanti ngomongin soal uang para jutawan. Hihi... Sebagai orang yang dibesarkan di keluarga sederhana dan di didik untuk menghargai uang, rasanya bertolak belakang dengan apa yang saya lihat. Rasanya suka sedih aja kalau udah ada tayangan hobi mahal lalu berganti dengan tayangan tv yang mengulas kehidupan kaum miskin. Untuk memperoleh uang yang nggak seberapa saja, mereka harus kerja keras dahulu. Terkadang kerja keras mereka nggak sesuai dengan upah yang mereka dapat. Tapi pilihan mereka hanya satu. Bekerja biar dapur tetap ngebul.

Bersyukurlah kita yang setiap harinya masih bisa makan enak dan nggak perlu bercucuran keringat seperti mereka. Kalau sudah larut dalam tayangan tersebut, saya bisa berkaca-kaca. Saya melihat di tv, seisi rumah hanya makan nasi aking. Hiks..hiks.. apa enak itu ya? Bayangkan dengan harga makanan restoran mewah yang disantap para sosialita? Sudah pasti jauh berbeda. Saya menulis ini tidak ditujukan untuk siapa-siapa. Tetapi pengingat diri saya sendiri. Saat saya akan membelanjakan sesuatu untuk barang-barang yang sekiranya harganya mahal, hal ini menjadi semacam pengingat. Meskipun seandainya saya sanggup untuk membayar harga barang tersebut, tapi rasanya hati saya tersentil. Jika saya membeli sebuah tas mahal, diluar sana masih banyak anak-anak sekolah yang tidak memiliki tas. Bahkan yang murah sekalipun. Pun saat saya akan membeli sebuah alas kaki yang harganya lumayan, saya urungkan karena diluar sana masih  banyak orang yang bertelanjang kaki.

                             
                                       sumber gambar: google.com

Saya memang tidak lantas berhenti belanja sama sekali. Tapi setidaknya mereka menjadi pengingat saya agar tidak memiliki hobi yang berlebihan dan menghabiskan banyak uang ketika membeli sesuatu. Untunglah saya masih memiliki ibu dan suami yang juga selalu mengingatkan agar tidak berlebihan dalam hal apapun termsuk belanja. Ibu saya mengatakan, “Sekalipun kamu sanggup membeli, hendaknya membeli yang wajar-wajar saja. Allah tidak suka orang yang berlebih-lebihan..” Ibuku memang juara  bijaknya.

Lantas kalau ada yang mengatakan. “terus kalau begitu, lu aja yang beliin sana kebutuhan mereka yang miskin kalau lu peduli...” My prennn, memiliki rasa empati adalah awal yang baik. Dan semoga dengan begitu Allah melapangkan rezeki kita untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan dan kalau mau beramal kan nggak harus bilang-bilang juga toh? Hihi :D

Semoga hal seperti ini terus menjadi pengingat untuk saya. Bijak dalam mempergunakan uang dan memiliki hobi. Punya hobi memang bukan sesuatu yang salah. Tapi harus sesuai kemampuan dan tidak berlebihan. Betullll? Kalaupun mungkin ya lebih baik punya hobi yang menghasilkan juga. Yang hobi makan bisa dikembangkan menjadi peluang usaha kuliner. Atau yang suka menggambar bisa buka usaha les melukis mungkin? Punya penghasilan lebih dan bisa dipergunakan untuk hal-hal yang baik seperti membantu sesama akan terasa lebih istimewa dibanding hanya menghambur-hamburkan uang untuk barang yang jumlahnya fantastis :) Kalau ada salah satu artis penggila tas mahal mengatakan bahwa tas yang ia beli itu bagian dari investasi? Hmm, rasanya ada banyak jenis investasi yang lebih terlihat bijak dan nggak berlebihan. Ini menurut saya yang orang awam loh. Hehe. Money oh money...



                                                 



                   
[ Read More ]

Pemilik hati yang seluas samudra yaitu engkau, Ibu

Meskipun perayaan hari ibu sudah lewat cukup lama, tapi rasanya tidak ada kata terlambat untuk membahas tentang ibu. Bagi saya hari ibu tidaklah cukup hanya diperingati hanya dalam satu hari, karena setiap harinya adalah hari ibu. Meilhat perjuangan ibu-ibu kita dalam membesarkan anak-anaknya tentulah membuat kita sadar bahwa ibu adalah sosok yang istimewa.

Jika harus diungkapkan melalui kata, tentunya saya rasa tak akan pernah ada cukup kata untuk menuliskan betapa banyak rasa terimakasih kami untuk ibu. Kami sadar bahwa engkau memiliki hati seluas samudera. Sebuah tempat dimana kami bisa berteduh dan merasa damai. Di moment hari ibu, Pak De Guslix Galaxy, pendiri grup nulis buku bareng Pak Dek yang juga seorang purnawirawan jenderal bintang satu mengadakan kontes unggulan untuk menulis tentang ibu. Dan alhamdulillah, kini telah terbit dalam sebuah buku. Diterbutkan oleh penerbit Sixmidad, Bogor. 125 blogger berkumpul, menulis tentang ibu-ibu mereka. Sebuah persembahan yang akan menjadi kado istimewa untuk ibu.

                         

Membaca lembar demi lembar cerita yang tertuang membuat saya tersenyum sekaligus haru. Semua ibu di penjuru bumi ini memang sosok yang istimewa. Meskipun setiap ibu memiliki caranya sendiri dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya, tetapi intinya ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kehidupan anaknya. Kasih ibu tidak akan pernah putus dan terbatas. Di buku ini, kami tuangkan rasa cinta kami padamu, Bu. Meskipun kami tahu tak akan pernah ada cukup lembaran kalimat untuk bercerita tentangmu, Ibu.

Ibu, mama, umi, emak. Apapun sebutanmu, bagi kami engkau adalah pelita yang akan setia membimbing kami dalam menjalani hidup. Sekalipun rambut engkau telah memutih dan kamipun bertambah tua, bagi engkau kami tetaplah putra putri mungilmu. Kalimat bijakmu, Bu selalu menjadi obat mujarab bagi hati kami yang sedang dilanda gundah. Pun senyumanmu selalu menjadi suntikan semangat untuk kami berjuang lebih baik lagi. Hanya untukmu, Bu... Proudly present, sebuah buku. "Hati ibu seluas samudra" Judul yang apik. Sama seperti dalam kehidupan nyata, hatimu  memang seluas samudra. Bahkan lebih luas dari apa yang kita bayangkan.

                       

“Ibuku bukanlah seorang perempuan lulusan universitas dengan banyak gelar. Pun bukan seorang perempuan yang memiliki karier cemerlang di kantor. Ibuku juga bukan sesorang yang memiliki berlian sebagai pelengkap penampilannya. Namun bagi kami, Ibu adalah ratu di rumah teduh kami, gelar yang kami sematkan untuknya. Ibu adalah seorang perempuan yang berilmu luas dalam mendidik kami, dan Ibu adalah seorang perempuan sederhana dengan kekayaan hati yang tak terbatas. Seorang sahabat, perempuan yang melahirkan kami dan panutan kami dalam menjalani hidup dengan penuh rasa syukur dan ikhlas. I love u mom more than everything... (hal 85, Perempuan dengan senyum lembut itu, Ibuku)   

[ Read More ]

Lovely rain, semoga membawa berkah

Lhokseumawe hari ini diguyur hujan kembali.  Beberapa minggu yang lalu saat hujan deras terus turun, beberapa wilayah disini ada yang kebanjiran. Bahkan kabarnya hingga mencapai ketinggian 3 meter. Duh, tidak terbayang kalau aku tinggal di tempat yang terkena banjir. Kampung halamanku alhamdulillah adalah tempat yang bebas banjir. Dan kemarin saat hujan deras tak kunjung berhenti, air dari halaman belakang rumah pun mulai meluap. Hampir saja masuk ke dapur. Aku mulai panik, takut kena banjir juga. Tapi alhamdulillah air kembali surut.

Jika sudah masuk musim hujan, disini biasanya hujan berlangsung cukup lama dalam sehari. Ditambah pula dengan debit airnya yang cukup tinggi. Ketika pertama kali kesini, sempat kaget melihat hujan yang semacam ini. Hehe. Maklum saja, di kampungku jika hujan tak pernah ekstrem begini.

Bicara soal hujan, dulu saat aku masih kecil dan mendengar suara petir dan halilintar saat hujan deras, mama selalu berkata bahwa aku tidak perlu takut akan hal itu. Cukup membaca doa “Allahumma shoyyiban nafiaa” (Semoga Allah mencurahkan hujan yang penuh rahmat) Mama mengatakan bahwa setiap yang Allah turunkan pasti diiringi dengan rahmat. Saat itu aku bertanya-tanya, jika memang hujan itu rahmat, mengapa masih ada orang yang kebanjiran karena turunnya hujan?


                                                  sumber gambar: www.cwaca.com

Kemudian mama menjelaskan kembali padaku bahwa bencana semacam banjir adalah hal yang di tetapkan Allah. Dan jika terjadi bencana, adakalanya manusia memiliki andil terjadinya bencana tersebut. Mama berkata, hutan-hutan yang gundul, tidak mau membuang sampah pada tempatnya atau saluran air yang tidak berfungsi dengan baik bisa menjadi penyebab terjadinya bencana. Bencana bukanlah hanya murka Allah semata. Dan hujan yang turun ke bumi harus tetap kita syukuri.

Aku mulai belajar memahami perkataan mama. Mamaku seorang yang sederhana namun dengan pemikiran yang luar biasa. Beliau menjelaskan rasa penasaranku dengan bahasa yang sederhana. cukup bijaksana menurutku saat setiap kali aku mendengar mama bicara apapun.

Suatu saat ketika beranjak besar, aku mengeluh pada mama. Aku mengatakan bahwa aku ingin segera hujan turun. Saat itu sedang musim kemarau. Rasanya udara menyengat kulit dan minum air banyak pun tidak terasa. Mama kemudian berkata kembali, “Teteh ini ko ngeluh terus sih, kalau lagi panas mau ada hujan. Nah kalau lagi hujan katanya mau panas. Hayooo...” Aku nyengir kuda mendengar kalimat mama. Memang betul juga sih. Hehe... Tapi rasanya bukan aku saja yang seperti itu. Beberapa orang sering mengeluh hal yang sama sepertiku. Tunjuk tangan yang suka mengeluh sepertiku :D hihi

Manusia memang mahluk yang penuh dengan keluhan, termasuk aku. Saat hujan turun dan beberapa wilayah kebanjiran, aku berujar, “kenapa nggak berhenti sih hujan, kan kasian yang kebanjiran” atau saat musim panas melanda, “panas banget nih, hujan turun dong...”  Yah, seperti itulah. Sempat aku juga berpikir bahwa saat musim hujan, kasihan para pedagang es karena dagangan mereka pasti tidak laku. Dan saat musim panas, kasihan pedagang bandrek pasti tidak laku juga. Tapi rupanya aku salah. Pernah aku temui seorang pedagang yang biasanya berjualan es saat musim panas tiba-tiba berubah menjadi pedagang gorengan saat musim hujan. Aku bertanya penasaran dan beliau menjawab, “diatur-atur saja, Neng jualannya. Disesuaikan sama musim. Memang betul kalau musim hujan es kurang peminat. Tapi dapur kan harus ngebul. Jadi ya, mamang cari cara lain untuk jualan”

 Aku tertegun. Allah memang maha pemurah. Disaat aku berpikir kalau pedagang es tidak punya penghasilan saat musim hujan, ternyata Allah membuat mereka berpikir kreatif. Jadi tidak sepenuhnya benar jika musim hujan membawa kesengsaraan. Seperti halnya pedagang bandrek yang tetap ada pembeli meskipun saat musim panas. Rezeki akan tetap bsia diraih selama ada usaha dan keyakinan. Hal itulah yang aku lihat.

Setidaknya dari contoh kecil di lingkungan sekitar, aku banyak belajar. Memang betul apa yang mama katakan. Bahwa hidup bukan untuk dikeluhkan tapi untuk diperjuangkan dan disyukuri. Jika kita sering mengeluh tentang cuaca yang panas atau hujan yang tak kunjung berhenti, rasanya akan habis waktu kita untuk terus mengeluh. Aku ingat kembali apa yang diajarkan mama. Jika hujan turun, lebih baik kita berdoa saja agar Allah menurunkan hujan yang penuh dengan berkah. Dan jika terjadi bencana, kita doakan juga semoga keadaan kembali seperti semula. Pun jika saat musim kemarau panjang melanda dan sawah kita kekeringan, berdoa lah semoga Allah menurunkan hujan yang bisa kembali mengairi sawah-sawah kita. semoga senantiasa selalu ada hal baik yang bisa kita petik dari setiap musim yang  kita alami.


                                    Sumber gambar: daulahislam.com
[ Read More ]

Pawon mama

Ah, jika mengingat kelakuanku beberapa tahun silam, rasanya geli sendiri. Dulu, sewaktu masih gadis, masuk dapur itu rasanya anti. Hmm, bukan karena merasa diri sebagai seorang ningrat hingga rasanya tak pantas masuk dapur. Tetapi lebih karena malas! Ya, malas. Betul-betul malas untuk sekedar bertanya pada mama bagaimana caranya membuat sambal. Hehe...tapi memang begitulah faktanya.

Bekerja menjadi alasan paten untukku agar menghindari dapur. Pun saat libur kerja, aku lebih suka berlama-lama depan laptop atau membaca. Duh, agak kejam dan menyesal sebetulnya kalau ingat hal ini. Sering aku biarkan mama sibuk sendiri di dapur. Tapi tanpa rasa bersalah, aku tetap dengan pendirianku untuk tidak memasuki dapur (maafin teteh ya, Mam...) tapi saking baiknya mama, beliau jarang menceramahiku karena kelakuanku yang satu ini. Entahlah, saat itu aku hanya mau masuk dapur jika membantu mama mencuci piring atau jika disuruh memotong sayuran. Tapi tak sekalipun aku berniat untuk tahu bagaimana caranya memasak.

Mama hanya mengatakan bahwa ada saatnya aku akan mengerti jika seorang perempuan pasti akan akrab dengan dapur. Meskipun ia tidak memasak, setidaknya membuatkan kopi atau teh untuk suaminya kelak pun akan masuk dapur juga. Aku nyengir mendengar perkataan mama. Ucapan mama ada benarnya juga. Suatu hari nanti mungkin aku tidak akan bisa menghindar seperti sekarang.

Hingga bertambah dewasa, aku mulai berubah sedikit demi sedikit, tapi tidak lantas membuatku berkawan akrab dengan dapur seperti Mama. Level tak acuhku masih tinggi. aku masih belum sepenuhnya tertarik untuk berteman akrab dengan hal-hal yang berbau dapur. Sekali lagi, bukan karena aku merasa perempuan bekerja lantas tak pantas masuk dapur. Tapi sungguh, asli karena malas! (Duh, parah amat ya? :D hehe)

Mama masih tetap santai menghadapi aku, justru Ayahku yang sedikit cerewet melihat anak perempuan satu-satunya ini terlihat tak tertarik dengan dapur. Hihi...entahlah, kadang aku merasa sulit memahami ayahku ini, tapi aku meyakini bahwa ini adalah sebentuk perhatian pada anak perempuannya. Karena beliau merasa, suatu hari aku akan menjadi seorang istri dan mau tidak mau mengurus segala keperluan suami termasuk urusan perut akan menjadi bagian dari tanggung jawabku kelak. Aku amat menghargai pemikiran ayahku.


                                            sumber gambar: www.solusiproperti.com

Setiap hari masih berlalu  begitu saja, hingga tak diduga waktu untukku bertemu dengan jodoh pun tiba. Bayangan tentang sebuah pernikahan tergambar sudah. Aku tidak akan lagi bekerja karena harus mengikuti suami. Dan rutinitasku pun akan berubah. Sudah jelas aku akan jadi ibu rumah tangga. Sepenuhnya ada di rumah dan mengurus kebutuhan suami. Tiba-tiba aku teringat ucapan ayahku. “Urusan perut” (Langsung ambil gaya tepok jidat :D)

Waktunya telah datang dan seketika munculah semacam penyelasan karena aku tak pernah mau mengakrabkan diri dengan dapur. Tamatlah riwayatku. Ada semacam perasaan malu jika bumbu dapur saja tidak tahu namanya. Tapi waktunya semakin dekat dan aku semacam membujuk mama untuk memberiku kursus singkat untuk mengajariku memasak. Beliau hanya mendesah dan mencandaiku “Nah, loh...terasa kan sekarang”

Aku kembali nyengir. Sebelum menikah pada  calon suamiku, aku berterus terang bahwa aku belum pandai memasak. Dan dia mengatakan bahwa “sambil belajar saja nanti juga bisa” Aku bisa sedikit lega. Ya, meskipun kami sama-sama menyadari bahwa memiliki pasangan hidup itu bukan hanya sekedar mencari orang yang pandai memasak atau orang yang pantai membuat tertawa, tapi rasanya sebagai perempuan ingin memiliki kemampuan yang satu itu, memasak.

“Sudahlah, tak ada waktu lagi untuk belajar memasak lebih lama pada mama, saatnya kamu belajar sendiri. Mungkin ini konsekuensi karena ogah masuk dapur” aku berkata pada diri sendiri. Duh, kok rasanya bersalah sekali pada mama. Mengapa sekian tahun aku tinggal di rumah tak mau bertanya bagaimana caranya memasak. Jika masuk dapur pun aku lebih banyak memperhatikan saja tanpa praktek.

Dan kini, sendiri. Tanpa mama, aku harus belajar untuk bisa semuanya. Sesekali jika aku ingin membuat masakan seperti yang mama buat, aku menelpon dan bertanya resep. Meskipun dulu aku enggan mengikuti sarannya, tapi mama selalu memberiku semangat. Pun ketika mama bicara dengan suamiku, beliau selalu bertanya “Gimana, Mas masakan teteh enak?” dan dengan senyum kecilnya, suamiku selalu menjawab bijak “Enak, Ma..” kemudian dilanjutkan kembali dengan kalimat “Maafin teteh ya, Mas kalau belum mahir masaknya” njebb banget rasanya. Kok aku merasa bersalah ya. Hehe.. perkataan mama tidak pernah bermaksud untuk membuatku malu, justru mencerminkan seorang ibu yang selalu berpihak pada anaknya dan memeberi motivasi agar bisa belajar terus. Dan suamiku selalu membalas “Koki aja kalau nggak belajar nggak akan mahir, Ma. Setiap hari pun makin enak, Ma masakanya”

Ah, rasanya campur-campur memiliki mereka di dekatku. Tak pernah membuatku patah arang. Dan membuatku berpikir bahwa memang benar tak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Sekalipun kita diliputi sedikit atau banyak penyelasan “Mengapa tidak dari dulu..” tapi rasanya luar biasa jika kita mau belajar kembali dari awal.

                                     
                              sumber gambar; http:/www.rumahminimalisidaman.net

Menjadi seorang istri memang tidak hanya sekedar jadi “Tukang cuci setrika” atau “Koki” tapi menyajikan ragam suguhan dan perhatian melalui apa yang kita senangi. Membuat baju suami kita tetap rapi dan harum, memperhatikan apa yang menjadi masakan kesukaannya tidak ada salahnya toh

Biarlah itu semua aku anggap menjadi peran yang menakjubkan. Sesuatu yang sekiranya menjadi rutintitas menyenangkan yang harus aku lalui dalam jangka waktu panjang. Setiap orang memiliki kesenangannya masing-masing. Para perempuan  bekerja yang mungkin tidak memiliki banyak waktu untuk memasak makanan kesukaan suaminya pun, pasti memiliki cara sendiri untuk menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang istri. Memiliki cara sendiri untuk memberi kesenangan pada rumahnya dan suaminya.

Dan kini, aku mengakrabkan  diri dengan dapur hingga perlahan aku mulai jatuh cinta. Di tempat yang bernama dapur, aku menemukan banyak kenangan, terutama tentang mama. Saat wajahku berkeringat berhadapan dengan wajan dan kompor, aku seolah bisa merasakan bagaimana mama saat itu dengan raganya yang mungkin lelah namun tetap ceria memasak makanan setiap hari untuk kami. Bagaimana tulusnya kasih seorang Ibu tertuang dalam sebuah mangkuk sop. Mungkin tidak terlihat, tapi bagiku terasa kini. Saat aku berusaha keras belajar membuat makanan kesukaan suamiku, aku membuatnya dengan penuh keceriaan. 

Sama seperti yang ditunjukkan mama. Mungkin melalui memasak, Itulah salah satu cara dari ribuan cara mama menunjukkan sayangnya. Tidak hanya mama, ribuan Ibu lain pun sama. Tidak peduli murah atau mahalnya bahan masakan yang dibeli. tapi dari setiap irisan sayur dan racikan bumbu, ada kasih yang tertuang. Dan itu yang aku rasakan sekarang. Saat aku meracik bumbu, aku berpikir, aku harus memberikan yang terbaik untuk suamiku. Dan itulah yang dilakukan mama di rumah untuk anak dan suaminya. Dan kini itu juga cara sederhanaku untuk menyenangkan hati suamiku dan anakku kelak. Seperti yang aku katakan, setiap perempuan, setiap orang memiliki cara sendiri untuk membuat dunianya istimewa. Dan dari tempat bernama dapur inilah, aku masuk ke dunia yang berbeda. Dunianya mama yang dulu aku enggan memasukinya.
[ Read More ]

Perempuan dengan senyum lembut itu, ibuku

Ini adalah tahun pertamaku tinggal jauh dari Ibu. Setelah menikah tahun lalu, aku mengikuti suami pindah ke Aceh. Rasanya ada sesuatu yang kosong di hari-hari awal aku tinggal jauh dari beliau. Sejak kecil sampai usiaku dua puluh enam tahun, tak pernah sekalipun aku jauh dari beliau. Kami layaknya sahabat. Mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya di rumah, kami amat dekat. Biasanya setiap hari aku bisa melihat senyum lembut Ibu menyambutku sepulang bekerja. Pun saat aku sakit, beliau selalu berada di sampingku. Aku tak akan sungkan bersikap manja dan menikmati belaian tangan Ibu.

Kini aku tak bisa setiap saat bertatap muka dengan Ibu. Rasanya rinduku sudah memuncak. Ibuku, seorang perempuan tegar, sahabat terbaikku sepanjang masa. Ingatkah engkau, Bu dulu kita sering menghabiskan waktu sore di ruang tamu sederhana rumah kita. Saat itu engkau akan dengan setia mendengarkan ceritaku. Sesekali engkau menimpalinya dengan candaan hangat layaknya teman. Di rumah, aku dan adik laki-lakiku terbiasa bersikap terbuka. Kami mendiskusikan segala macam hal dengan Ibu. Kami memahami jika Ibu lebih suka kami bercerita padanya dibanding berbicara pada orang lain. Jadi bagi kami, Ibu adalah tempat pertama kami untuk berbicara tentang apapun.

Masa kecilku dilewati dengan penuh perjuangan bersama Ibu. Aku ingat Ibuku berjualan Peyek kacang dan ikan teri untuk  menambah penghasilan keluarga. Setiap subuh beliau belanja kepasar dan kemudian mengolah bahan untuk di titipkan di warung-warung dekat rumah. Dan aku ingat bagaimana Ibuku dengan raganya yang lelah, namun tetap tersenyum di depan kami anak-anaknya. Mengajari kami tentang makna hidup. Ibu memang tidak pernah memanjakan kami dengan sesuatu yang bersifat benda karena beliau tidak sanggup untuk itu. Tapi kami memiliki kasih yang berlimpah. Kami sungguh beruntung memilikimu, Bu. Membimbing kami, dan mengajari kami menjadi kuat. Tidak dengan omelan melainkan dari contoh nyata yang kami lihat dari sosokmu.

Bicara soal Ibu memang tidak akan pernah ada habisnya bagiku. Kini, saat hanya bisa kudengar suaramu lewat sambungan telepon, seringkali aku menahan isakku. Mungkin Ibuku juga sama. Kebersamaan kita memanglah tidak sesering dulu, namun bagiku Ibu akan tetap ada di setiap nafasku. Ketika kini, aku menjalani hidupku bersama suami, aku selalu berusaha untuk menjadi sepertimu, Bu. Masih jelas kuingat bagaimana cara Ibu mengurus Ayah, aku dan kedua adikku. Tak pernah ada keluhan. 

Masih juga kuingat dulu saat keluarga kita mulai terpuruk, engkau dengan sabarnya mengisi tabungan tanah liat (Baca:celengan) dengan lembaran uang hasil berdagang. Ibuku dengan lembut mengatakan bahwa kami tidak perlu takut. Ada Allah yang Maha kaya yang akan mencukupkan kami. Beliau juga berkata bahwa uang tabungan inilah yang akan membantu kita suatu saat nanti. Dan aku bangga padamu, Bu. Karena dari uang itulah aku bisa sekolah meskipun hanya sampai SMK. Tak apa, Bu. Biar kelak anakku saja yang meneruskan cita-citaku untuk sekolah sampai tinggi. Seperti yagn Ibu selalu katakan, jika aku ingin terus menambah ilmu, masih ada buku yang bisa aku baca. Dan selalu ada banyak kesempatan untuk belajar. Tidak hanya di bangku sekolah. Di tempat kita berdiri pun, pasti ada ilmu yang bisa kita ambil.

Dari Ibu, aku belajar makna ikhlas. Aku pernah melihatmu terisak dalam doa. Namun ketika aku tanyakan mengapa Ibu menangis, engkau mengatakan bahwa tangismu adalah tangis bersyukur karena engkau memiliki kami dalam hidupmu. Ibu menganggap kami adalah pelipur lara dan penguat hati Ibu. Padahal justru sebaliknya, kami lah yang merasa bahwa Ibu adalah permata bagi kami. Padahal aku tahu mungkin tangismu karena keadaan dan perkataan sebagian orang yang menyakitkan. Tapi Ibu selalu cepat mengatakan “Menangis itu manusiawi, tapi apapun yang kita alami dan dapatkan kita harus ikhlas” Tidak mudah memang menjadi seperti Ibu. Aku masih harus berproses dan belajar agar memiliki kebesaran hati sepertinya.

Ibuku bukanlah seorang perempuan lulusan universitas dengan banyak gelar. Pun bukan seorang perempuan yang memiliki karier cemerlang di kantor. Ibuku juga bukan sesorang yang memiliki berlian sebagai pelengkap penampilannya. Namun bagi kami, Ibu adalah ratu di rumah teduh kami, gelar yang kami sematkan untuknya. Ibu adalah seorang perempuan yang berilmu luas dalam mendidik kami, dan Ibu adalah seorang perempuan sederhana dengan kekayaan hati yang tak terbatas. Seorang sahabat, perempuan yang melahirkan kami dan panutan kami dalam menjalani hidup dengan penuh rasa syukur dan ikhlas.



I love u mom more than u know. Setiap ibu pasti istimewa untuk anak-anaknya. Begitupun denganku. Mama adalah teladan, teman terbaik dan contoh nyata bagaimana menjadi seorang ibu yang istimewa :)

[ Read More ]

Bang bing bung nyok kita nabung

Dulu sewaktu masih lajang dan bekerja, rasanya sah saja jika menggunakan uang hasil kerja kita untuk membeli sesuatu yang kita suka. Dan kadang kala bablas :D tergiur melihat tulisan diskon yang ukurannya besar. Padahal jenis barang yang di diskon tersebut sudah kita miliki. Dalihnya “Sayang kalau nggak dibeli, mumpung lagi diskon” Pernah juga mengalami seperti saya? Hehe..apalagi perempuan sering melek diskon dan antusias jika masuk ke pusat perbelanjaan.

Saya memang bukan penggila belanja yang sanggup menghabiskan banyak uang untuk membeli barang yang harganya fantastis. Karena saya tidak sanggup untuk itu :D namun jika kebetulan sedang ada dana dan ada event sale, saya ikut mampir juga untuk membeli beberapa barang asal sesuai isi kantong. Hehe...

Perempuan oh, perempuan. Begitulah adanya kalau bicara soal belanja :D namun meskipun begitu, saya bersyukur masih punya rem untuk mengendalikan keuangan. Mama saya memang tidak pernah secara gamblang melarang saya untuk berbelanja. Tapi beliau secara halus mengingatkan saya, bahwa uang itu layaknya air yang mengalir. Jika tidak kita tampung dalam sebuah bejana, tentunya akan mengalir habis begitu saja. Perkataan mama saya itulah yang menjadi patokan saya menilai arti dari uang. Syukurlah meskipun saya senang berbelanja, tetapi saya masih bisa mengontrol diri.

                         
                                       sumber gambar: www.bapertarum-pns.co.id

Setelah delapan tahun bekerja, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan total menjadi Ibu rumah tangga. Saya ikut suami ke tempat beliau berdinas. Di sebuah kota yang jaraknya jauh dari kampung halaman. Di kota ini, saat menjalani hari sebagai seorang istri, saya banyak belajar. Pada awalnya, jujur saya sedikit bosan.  Bukan karena saya merasa pekerjaan sebagai seorang istri itu tidak menyenangkan. Melainkan karena saya merasa ada aktifitas yang hilang, yaitu bekerja dan minus penghasilan sendiri. Tapi semakin hari saya sadari, ini adalah konsekuensi yang saya pilih. Sebuah pengorbanan yang akan tergantikan dengan sesuatu yang lebih berharga dan tak ternilai. Dan memang betul saya rasakan kini, mungkin jika saya masih bekerja, saya tidak akan mendapatkan hal-hal yang seperti saya dapat sekarang ini.

Mama saya mengatakan bahwa ketika dua orang memutuskan untuk menikah, maka pada saat itu pula Allah akan mencukupi rezeki orang tersebut. Jangan takut karena istri tidak bekerja lantas merasa kurang dan takut tidak tercukupi.

Jadilah saya mengerti dan saya patut bersyukur karena saya bisa banyak belajar. Sumber penghasilan kami dari gaji suami saya. Sebuah hal yang harus saya syukuri, ada pemasukan rutin tiap bulan. Suami saya mempercayakan keuangan sepenuhnya pada saya. Saat diberi amanah tersebut, saya berusaha agar bisa sebaik-baiknya mengelola. Saya mulai belajar membuat pos-pos keuangan. Anggaran belanja kebutuhan pokok, biaya listrik, pulsa handphone, dsb. Perlahan, kebiasaan saya ngiler saat melihat kata diskon pun berubah. Otak saya secara otomatis memerintahkan agar saya berpikir dua kali untuk mampir. Pikiran saya perlahan berubah, bahwa ada yang lebih menjadi prioritas dibanding sekedar belanja barang yang sudah saya miliki. Tas, sepatu? Hmm...aktifitas saya di luar rumah sudah semakin berkurang dan rasanya barang-barang tersebut masih tersimpan bagus di rak. Sesekali jika ada dana, boleh lah kita memanjakan diri membeli barang kesukaan saya dan suami. Tapi jika sering? Tekor kitaaa :D hehe

Perkataan mama saya tentang uang masih menjadi pegangan untuk saya. Saya  juga berpikir bahwa mengatur uang secara efektif itu beda halnya dengan pelit. Pandangan saya, jika pelit, si pemilik uang mungkin tidak akan pernah membelanjakan uangnya bahkan untuk kesenangan dia sendiri. Kalau efektif menurut saya, uang yang kita keluarkan tepat guna dan sesuai dengan anggaran yang ada :D hehe

Dan soal bejana tempat menampung air, saya setuju dengan mama saya. Dulu, saya melihat mama memiliki celengan tanah liat dan dan plastik yang berjejer di lemari kamar. Ndeso memang gaya menabungnya. Satu celengan dipergunakan untuk mengisi uang recehan pecahan 500/1000,- dan satu celengan dipergunakan untuk mengisi uang kertas yang beliau sisihkan dari sisa uang belanja. Nominalnya mungkin jauh jika dibandingkan dengan orang-orang perlente yang menabung di rekening bank-bank besar. Tetapi hal tersebut menjadi pelajaran nyata yang saya lihat. Saya sempat berpikir “kok Mama telaten banget ya nabung” Lalu mama mengatakan “Suatu saat ini akan menolongmu” 

                                     
                                   sumber gambar: http;/bobo.kidnesia.com

Dan hal itu kini menjadi sebuah kebanggaan untuk saya. Karena dari tabungan itu lah saya dan adik saya bisa bersekolah meskipun tidak sampai ke perguruan tinggi. Keluarga saya memanglah sederhana dan ekonomi keluarga terbantu setelah saya berkerja. Tetapi meskipun begitu, mama tidak sepenuhnya menggantungkan diri dari penghasilan saya saat itu. Beliau masih tetap  menabung dengan caranya. Dan itu masih berlangsung sampai sekarang. Jangan dilihat dari nominal yang kita tabung. Tapi lihat nanti jika sudah penuh, berapa hasilnya. Itu yang mama katakan.

Dan jadilah sekarang saya mengikuti apa yang beliau lakukan. Meskipun saya tidak menabung di celengan tanah liat, saya tetap menyisihkan terlebih dahulu penghasilan suami untuk di tabung di rekening. Kebanyakan orang akan menabung saat ada sisa penghasilan. Tapi bagi saya, saya harus menyisihkan terlebih dahulu untuk menabung. Karena dengan begitu, kita akan lebih bertanggung jawab mengelola sisa uang yang ada. Dan kalau pun pada akhirnya ada keperluan mendadak, kita tidak akan terlalu pusing untuk mencari dana. Karena sebelumnya sudah ada tersimpan.

Dan soal menabung uang receh, saya juga mengikuti apa yang mama lakukan. Setiap sabtu pagi, kami berbelanja kebutuhan pokok. Saya biasa menganggarkan sejumlah uang untuk belanja kebutuhan tersebut. Dan jika ada sisa belanja, biasanya akan saya masukan ke satu dompet khusus. Bisa dikatakan, isinya recehan. Tapi seperti mama bilang, jangan lihat nominal berapa yang kita tabung. Tapi lihat nanti suatu saat recehan itu akan menolongmu :D

Bagi sebagian orang yang berpenghasilan besar mungkin tidak perlu bersusah payah seperti saya untuk mengelola uang. Tetapi bagi saya, management keuangan itu memang perlu ada dalam sebuah rumah tangga. Perlu di persiapkan dengan sebaik-baiknya. Toh, meskipun banyak uang jika tidak bisa mengelolanya, akan tetap terasa kurang. Selalu ingat prinsip uang yang seperti air. Perlu ada bejana yang menampung. Khususnya bagi mereka yang memiliki penghasilan tetap tiap bulan, alangkah baiknya bijak dalam mempergunakan uang :D nggak mau kan nanti habis di tengah jalan lantas hutang sana sini? :D

Yook, dari sekarang kita mulai menabung. Ingat, jangan lihat nominal. Masih ingat kan pepatah “Sedikit demi sedikit, Lama-lama menjadi bukit” hal itu saya rasa bukan tipuan semata. Buktinya, Ibu saya yang menabung recehan pun bisa membantu ekonomi keluarga :D
                                                      sumber gambar: beritainfo.web.id

Semangat :D kalau bukan kita? Siapa lagi (Udah kayak jargon iklan ajan ih :D)
[ Read More ]

Rindu di awal tahun untukmu, Ma

Kalau sudah bicara dengan mama di tetelpon tuh nggak bisa sebentar. Paling nggak, harus beli paket telepon yang seratus menit. Hehe...rasanya kalau sudah ngobrol begitu, waktu terasa sebentar dan nggak pernah cukup. Biasanya kami mengobrol banyak hal. Nggak terbatas topik. Bisa mulai dari pertanyaan saya tentang bagaimana cara membuat sebuah masakan, tentang adik-adik saya, bahkan tentang berita yang sedang hangat di televisi. Kalau sudah dua perempuan ngobrol, sudah pasti seru deh :D

Nah, kalau sudah begitu, biasanya adik bungsu saya yang juga sering menguping pembicaraan akan ikut menyahut dan berkata “Aduhh, lama amat sih teleponnya. Panas kupingnya” dan saya akan menimpali dengan kalimat, “Biar aja atuh, kan teteh cuma bisa ngobrol di telepon sama mama, Dek” kemudian mama akan sedikit ikut berkata pada adik bungsu saya, “Udah ah dek, adek main aja sana. Mama masih mau ngobrol sama teteh nih” Yes, i am win :D hihi. Mama lebih memiliih untuk melanjutkan ngobrol dengan saya. Dan si bungsu akhirnya mengalah dan pergi main. (kejamnya nyuruh si bungsu mengalah :p)

Entahlah, saya dan mama layaknya teman. Kedekatan kami tidak hanya karena saya anak perempuan mama satu-satunya. Dua adik saya lelaki dan sudah besar. Yang terpaut usia empat tahun dengan saya sudah bekerja. Dan si bungsu juga sudah kelas enam SD. Mama selalu membiasakan diri untuk menerima segala curhatan kami. Apapun itu. Mungkin dari hal tersebut saya merasa, mama bisa berperan tidak hanya sebagai ibu, tetapi juga sebagai teman.

Tapi bicara soal kedekatan anak perempuan dengan ibunya, mungkin di keluarga lain pun sama. Meskipun saya yakin banyak juga anak laki-laki yang dekat dengan ibunya, tapi bagi saya yang seorang anak perempuan, kedekatan itu lebih terasa jika dibandingkan dengan kedekatan saya dengan ayah. Setiap keluarga pasti berbeda ya. Kan ini lagi cerita tentang saya :D hihi

Nggak terasa sudah satu tahun lebih saya nggak bertemu mama. Kangen berat rasanya. Meskipun kami sering mengobrol di telepon, tapi rasanya berbeda saja. Jalan-jalan bersama juga saya rindukan. Sejak jauh dari mama, saya tambah merasakan bahwa kehadiran mama begitu memiliki arti bagi saya. Sering saya katakan bahwa mama adalah sahabat terbaik saya dan hal itu memanglah benar.

Menjadi seorang ibu seperti mama tidaklah mudah dan saya tahu betul bagaimana mama berjuang untuk hidup kami.

Saat ini saya ingin mendekap erat mama dan berkata bahwa mama adalah ibu yang hebat. Hiks...tambah rindu jadinya. Kalau saja pintu kemana saja milik doraemon memang nyata, mau saya pinjam sebentar biar bisa langsung tiba di depan pintu rumah. Hehe

Saya masih harus sabar untuk bisa pulang ke rumah. Masih ada hal yang harus kami perjuangkan disini agar bisa secepatnya bermukim di kampung dan tidak perlu berjauhan dengan orang tua kami. Biarlah sekarang kami sama-sama sabar menahan rindu.  Saya hanya berharap mama, papa, orang tua saya dan suami senantiasa di beri kesehatan dan keberkahan dalam hidup. Saya harus tetap semangat menjalaani kehidupan disini untuk sementara waktu.

Lhokseumawe,

Awal tahun yang mendung ( mendung karena memang lagi gerimis loh :D) tapi meskipun cuaca temaram, saya tetap semangatttt. I miss u mama :D


                                                     sumber gambar: katakutuku.net
[ Read More ]

Sudahkah kita bersyukur hari ini?

Musim hujan begini, membuat kita betah berlama-lama berdiam di balik selimut. Udara dingin seringkali membuat kita malas untuk beraktifitas. Tetapi ada kewajiban yang harus kita kerjakan, so semangattt :D

Biasanya dulu saat dirumah, kalau hujan begini Mama akan membuatkan kami camilan. Entah itu pisang goreng ataupun sekedar merebus singkong. Memang jika cuaca dingin membuat perut kian lapar. Yang tadinya jarang ngemil bisa ngemil terus. Apalagi jika ditambah dengan teh manis hangat ataupun susu cokelat, beuh...mantap.

Tapi saat hujan kemarin ketika saya mencicipi camilan, tiba-tiba saya ingat mereka di luar sana yang mungkin tidak memiliki tempat tinggal. Dulu saat saya pulang kerja, dari jendela bus sering saya melihat manusia gerobak. Saya menyebutnya demikian karena saat itu sudah diatas pulul sepuluh malam dan mereka tidur dalam gerobaknya. Tidak jarang ada juga anak-anak mereka. Saya pernah melihat seorang bapak yang tidur disamping gerobaknya. Dan ada dua bocah yang muncul dari balik gerobak. Tidak punya rumahkah mereka?

Di tambah melihat tayangan tv yang bisa membuat kita berkaca-kaca L sungguh beruntunglah kita masih punya tempat berteduh meskipun mungkin tidak mewah. Ibu saya mengatakan bahwa  nyamannya sebuah rumah tidak selalu dilihat dari seberapa mewahnya. Dan rasanya memang betul. Saya tidak tahu apakah mereka yang tinggal di gerobak merasa nyaman atau tidak. Tidak dipungkiri memang setiap manusia pasti menginginkan tinggal di tempat yang nyaman, mungkin termasuk mereka yang tinggal di gerobak. Tetapi saat saya melihat ada senyum di anak-anak mereka, saya menjadi sedikit bertanya, “apakah mereka masih  bisa menemukan kebahagiaan walaupun kondisinya seperti itu?” entahlah. Yang pasti jika saya ingin membandingkan kondisi mereka dengan kondisi saya, saya sudah pasti harus bersyukur.


                                                       sumber gambar: inspirably.com

 Saya jadi ingat dulu ketika remaja sempat mengeluh tentang kondisi rumah kami yang bocor di banyak sudut. Sempat mengeluh kenapa rumah saya tidak bagus seperti orang lain? Mengapa rumah saya tidak mewah seperti orang lain? Namun kemudian keluhan saya tersebut di jawab oleh mama saya, “masih banyak loh, Teh di luar sana yang ngga punya rumah. Rumah kita kan cuma bocor aja. Ngga apa-apa nanti juga bisa diperbaiki” Saat itu saya hanya diam saja. Tidak sepenuhnya mengamini perkataan mama saya. Tetapi lebih karena saya tidak ingin berdebat saat itu.

Namun kini, saya teringat kembali percakapan kami di masa lampau tersebut. Bahwa memang betul masih banyak orang yang jauh tidak beruntung di banding kita. Jika terus mengeluh untuk sebuah kondisi yang seharusnya di syukuri, rasanya kita tidak tahu diri. Mama saya selalu  mengajari kami jika hidup tidak untuk dikeluhkan tetapi untuk diperjuangakan. Setiap kali kita mengeluh, setiap itu pula kita akan membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Dan belum tentu perbandingan kita benar adanya.

Dulu saat saya protes mengapa saya tidak bisa seperti teman saya yang  dengan mudahnya memperoleh sesuatu yang diinginkan, mama berkata pada saya bahwa saya justru harus bersyukur. Mama mengatakan bahwa belum tentu semua yang diperoleh teman saya bisa membuatnya bahagia. Dan jika saya ingin memperoleh sesuatu, saya  harus memperjuangkannya sendiri. Dengan bahasa sederhananya mama berkata, “nanti kalau teteh sudah mandiri, bekerja, bisa membeli apa yang teteh mau. Sekarang sabar dulu, karena mama sebagai orang tua nggak sanggup memenuhi keinginan anak”

                                           

Air mata saya tertahan. Saya merasa kurang ajar sekali pada waktu itu. Mengapa saya harus bertanya hal-hal seperti itu? Rasanya sakit mendengar mama berkata demikian karena beliau tidak bisa memenuhi keinginan kami. Saya langsung menghabur ke pelukan mama. Saya tidak bisa berkata. Terlalu malu untuk mengucap maaf. Saya sudah menyakitinya. Tapi beningnya hati seorang ibu, tidak pernah membuat saya merasa kecil hati. Meskipun tidak terucap, mama selalu memaafkan saya.

Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri akan menjadi pribadi yang mandiri dan mau berjuang untuk meraih apa yang saya inginkan. Saya tidak ingin lagi melihat mama merasa menjadi orang tua yang tidak sanggup memberikan kebahagiaan pada anak-anaknya. Sungguh, Ma jika mama tahu, mama sudah memberi lebih dari cukup untuk kami.
Mama mengajari kami empati. Membiasakan diri kami untuk melihat ke bawah, pada kondisi mereka yang jauh lebih sulit daripada kami. Bahkan pernah mama berkata bahwa apa yang kita miliki sekarang haruslah kita syukuri karena bukan tidak mungkin jika kondisi hidup kita  berubah lebih baik di masa depan, hal ini akan menjadi sebuah kenangan. Pernah merasakan hidup yang penuh perjuangan dan kita akan lebih banyak bersyukur.

Menikmati hidup yang kita jalani sekarang,  bersyukur bahwa sampai hari ini kita masih diberi kesempatan menghirup udara, bersyukur karena kita masih diberi waktu untuk memperbaiki hidup, bersyukur karena kita masih memiliki orang-orang terkasih di samping kita, bersyukur bahwa ternyata hidup kita masih diliputi kebahagiaan, bersyukur itu mudah.

Lhokseumawe, januari 2015

Mama memang bukan seorang filsuf ataupun seorang sarjana pendidikan. Tetapi bagi kami, beliau adalah seorang pendidik yang terbaik untuk kami, anak-anaknya..



[ Read More ]