Hingga bertambah
dewasa, aku mulai berubah sedikit demi sedikit, tapi tidak lantas membuatku
berkawan akrab dengan dapur seperti Mama. Level tak acuhku masih tinggi. aku
masih belum sepenuhnya tertarik untuk berteman akrab dengan hal-hal yang berbau
dapur. Sekali lagi, bukan karena aku merasa perempuan bekerja lantas tak pantas
masuk dapur. Tapi sungguh, asli karena malas! (Duh, parah amat ya? :D hehe)
Mama
masih tetap santai menghadapi aku, justru Ayahku yang sedikit cerewet melihat
anak perempuan satu-satunya ini terlihat tak tertarik dengan dapur.
Hihi...entahlah, kadang aku merasa sulit memahami ayahku ini, tapi aku meyakini
bahwa ini adalah sebentuk perhatian pada anak perempuannya. Karena beliau
merasa, suatu hari aku akan menjadi seorang istri dan mau tidak mau mengurus
segala keperluan suami termasuk urusan perut akan menjadi bagian dari tanggung
jawabku kelak. Aku amat menghargai pemikiran ayahku.
sumber gambar: www.solusiproperti.com
Setiap
hari masih berlalu begitu saja, hingga
tak diduga waktu untukku bertemu dengan jodoh pun tiba. Bayangan tentang sebuah
pernikahan tergambar sudah. Aku tidak akan lagi bekerja karena harus mengikuti
suami. Dan rutinitasku pun akan berubah. Sudah jelas aku akan jadi ibu rumah tangga. Sepenuhnya ada di rumah dan mengurus kebutuhan suami. Tiba-tiba aku
teringat ucapan ayahku. “Urusan perut” (Langsung ambil gaya tepok jidat :D)
Waktunya
telah datang dan seketika munculah semacam penyelasan karena aku tak pernah mau
mengakrabkan diri dengan dapur. Tamatlah riwayatku. Ada semacam perasaan malu
jika bumbu dapur saja tidak tahu namanya. Tapi waktunya semakin dekat dan aku
semacam membujuk mama untuk memberiku kursus singkat untuk mengajariku memasak.
Beliau hanya mendesah dan mencandaiku “Nah, loh...terasa kan sekarang”
Aku
kembali nyengir. Sebelum menikah pada
calon suamiku, aku berterus terang bahwa
aku belum pandai memasak. Dan dia mengatakan bahwa “sambil belajar saja nanti
juga bisa” Aku bisa sedikit lega. Ya, meskipun kami sama-sama menyadari bahwa memiliki pasangan hidup itu
bukan hanya sekedar mencari orang yang pandai memasak atau orang yang pantai membuat
tertawa, tapi rasanya sebagai perempuan ingin memiliki kemampuan yang satu itu,
memasak.
“Sudahlah,
tak ada waktu lagi untuk belajar memasak lebih lama pada mama, saatnya kamu
belajar sendiri. Mungkin ini konsekuensi karena ogah masuk dapur” aku berkata pada diri sendiri. Duh, kok rasanya bersalah sekali pada mama. Mengapa sekian tahun aku tinggal di rumah tak mau bertanya bagaimana
caranya memasak. Jika masuk dapur pun aku lebih banyak memperhatikan saja tanpa
praktek.
Dan
kini, sendiri. Tanpa mama, aku harus belajar untuk bisa semuanya. Sesekali jika
aku ingin membuat masakan seperti yang mama buat, aku menelpon dan bertanya resep. Meskipun dulu aku enggan mengikuti sarannya, tapi mama selalu memberiku
semangat. Pun ketika mama bicara dengan suamiku, beliau selalu bertanya
“Gimana, Mas masakan teteh enak?” dan dengan senyum kecilnya, suamiku selalu
menjawab bijak “Enak, Ma..” kemudian dilanjutkan kembali dengan kalimat “Maafin
teteh ya, Mas kalau belum mahir masaknya” njebb
banget rasanya. Kok aku merasa bersalah ya. Hehe.. perkataan mama tidak pernah
bermaksud untuk membuatku malu, justru mencerminkan seorang ibu yang selalu
berpihak pada anaknya dan memeberi motivasi agar bisa belajar terus. Dan
suamiku selalu membalas “Koki aja kalau nggak belajar nggak akan mahir, Ma.
Setiap hari pun makin enak, Ma masakanya”
Ah, rasanya campur-campur memiliki
mereka di dekatku. Tak pernah membuatku patah arang. Dan membuatku berpikir
bahwa memang benar tak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Sekalipun kita
diliputi sedikit atau banyak penyelasan “Mengapa tidak dari dulu..” tapi
rasanya luar biasa jika kita mau belajar kembali dari awal.
sumber gambar; http:/www.rumahminimalisidaman.net
Menjadi
seorang istri memang tidak hanya sekedar jadi “Tukang cuci setrika” atau “Koki”
tapi menyajikan ragam suguhan dan perhatian melalui apa yang kita senangi.
Membuat baju suami kita tetap rapi dan harum, memperhatikan apa yang menjadi
masakan kesukaannya tidak ada salahnya toh?
Biarlah itu
semua aku anggap menjadi peran yang menakjubkan. Sesuatu yang sekiranya menjadi
rutintitas menyenangkan yang harus aku lalui dalam jangka waktu panjang. Setiap
orang memiliki kesenangannya masing-masing. Para perempuan bekerja yang mungkin tidak memiliki banyak
waktu untuk memasak makanan kesukaan suaminya pun, pasti memiliki cara sendiri
untuk menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang istri. Memiliki cara
sendiri untuk memberi kesenangan pada rumahnya dan suaminya.
Dan
kini, aku mengakrabkan diri dengan dapur
hingga perlahan aku mulai jatuh cinta. Di tempat yang bernama dapur, aku
menemukan banyak kenangan, terutama tentang mama. Saat wajahku berkeringat
berhadapan dengan wajan dan kompor, aku seolah bisa merasakan bagaimana mama
saat itu dengan raganya yang mungkin lelah namun tetap ceria memasak makanan
setiap hari untuk kami. Bagaimana tulusnya kasih seorang Ibu tertuang dalam
sebuah mangkuk sop. Mungkin tidak terlihat, tapi bagiku terasa kini. Saat aku
berusaha keras belajar membuat makanan kesukaan suamiku, aku membuatnya dengan
penuh keceriaan.
Sama seperti yang ditunjukkan mama. Mungkin melalui memasak,
Itulah salah satu cara dari ribuan cara mama menunjukkan sayangnya. Tidak hanya mama, ribuan Ibu lain pun sama. Tidak peduli murah atau mahalnya bahan masakan
yang dibeli. tapi dari setiap irisan sayur dan racikan bumbu, ada kasih yang
tertuang. Dan itu yang aku rasakan sekarang. Saat aku meracik bumbu, aku
berpikir, aku harus memberikan yang terbaik untuk suamiku. Dan itulah yang
dilakukan mama di rumah untuk anak dan suaminya. Dan kini itu juga cara
sederhanaku untuk menyenangkan hati suamiku dan anakku kelak. Seperti yang aku
katakan, setiap perempuan, setiap orang memiliki cara sendiri untuk membuat
dunianya istimewa. Dan dari tempat bernama dapur inilah, aku masuk ke dunia
yang berbeda. Dunianya mama yang dulu aku enggan memasukinya.