Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Pawon mama

Ah, jika mengingat kelakuanku beberapa tahun silam, rasanya geli sendiri. Dulu, sewaktu masih gadis, masuk dapur itu rasanya anti. Hmm, bukan karena merasa diri sebagai seorang ningrat hingga rasanya tak pantas masuk dapur. Tetapi lebih karena malas! Ya, malas. Betul-betul malas untuk sekedar bertanya pada mama bagaimana caranya membuat sambal. Hehe...tapi memang begitulah faktanya.

Bekerja menjadi alasan paten untukku agar menghindari dapur. Pun saat libur kerja, aku lebih suka berlama-lama depan laptop atau membaca. Duh, agak kejam dan menyesal sebetulnya kalau ingat hal ini. Sering aku biarkan mama sibuk sendiri di dapur. Tapi tanpa rasa bersalah, aku tetap dengan pendirianku untuk tidak memasuki dapur (maafin teteh ya, Mam...) tapi saking baiknya mama, beliau jarang menceramahiku karena kelakuanku yang satu ini. Entahlah, saat itu aku hanya mau masuk dapur jika membantu mama mencuci piring atau jika disuruh memotong sayuran. Tapi tak sekalipun aku berniat untuk tahu bagaimana caranya memasak.

Mama hanya mengatakan bahwa ada saatnya aku akan mengerti jika seorang perempuan pasti akan akrab dengan dapur. Meskipun ia tidak memasak, setidaknya membuatkan kopi atau teh untuk suaminya kelak pun akan masuk dapur juga. Aku nyengir mendengar perkataan mama. Ucapan mama ada benarnya juga. Suatu hari nanti mungkin aku tidak akan bisa menghindar seperti sekarang.

Hingga bertambah dewasa, aku mulai berubah sedikit demi sedikit, tapi tidak lantas membuatku berkawan akrab dengan dapur seperti Mama. Level tak acuhku masih tinggi. aku masih belum sepenuhnya tertarik untuk berteman akrab dengan hal-hal yang berbau dapur. Sekali lagi, bukan karena aku merasa perempuan bekerja lantas tak pantas masuk dapur. Tapi sungguh, asli karena malas! (Duh, parah amat ya? :D hehe)

Mama masih tetap santai menghadapi aku, justru Ayahku yang sedikit cerewet melihat anak perempuan satu-satunya ini terlihat tak tertarik dengan dapur. Hihi...entahlah, kadang aku merasa sulit memahami ayahku ini, tapi aku meyakini bahwa ini adalah sebentuk perhatian pada anak perempuannya. Karena beliau merasa, suatu hari aku akan menjadi seorang istri dan mau tidak mau mengurus segala keperluan suami termasuk urusan perut akan menjadi bagian dari tanggung jawabku kelak. Aku amat menghargai pemikiran ayahku.


                                            sumber gambar: www.solusiproperti.com

Setiap hari masih berlalu  begitu saja, hingga tak diduga waktu untukku bertemu dengan jodoh pun tiba. Bayangan tentang sebuah pernikahan tergambar sudah. Aku tidak akan lagi bekerja karena harus mengikuti suami. Dan rutinitasku pun akan berubah. Sudah jelas aku akan jadi ibu rumah tangga. Sepenuhnya ada di rumah dan mengurus kebutuhan suami. Tiba-tiba aku teringat ucapan ayahku. “Urusan perut” (Langsung ambil gaya tepok jidat :D)

Waktunya telah datang dan seketika munculah semacam penyelasan karena aku tak pernah mau mengakrabkan diri dengan dapur. Tamatlah riwayatku. Ada semacam perasaan malu jika bumbu dapur saja tidak tahu namanya. Tapi waktunya semakin dekat dan aku semacam membujuk mama untuk memberiku kursus singkat untuk mengajariku memasak. Beliau hanya mendesah dan mencandaiku “Nah, loh...terasa kan sekarang”

Aku kembali nyengir. Sebelum menikah pada  calon suamiku, aku berterus terang bahwa aku belum pandai memasak. Dan dia mengatakan bahwa “sambil belajar saja nanti juga bisa” Aku bisa sedikit lega. Ya, meskipun kami sama-sama menyadari bahwa memiliki pasangan hidup itu bukan hanya sekedar mencari orang yang pandai memasak atau orang yang pantai membuat tertawa, tapi rasanya sebagai perempuan ingin memiliki kemampuan yang satu itu, memasak.

“Sudahlah, tak ada waktu lagi untuk belajar memasak lebih lama pada mama, saatnya kamu belajar sendiri. Mungkin ini konsekuensi karena ogah masuk dapur” aku berkata pada diri sendiri. Duh, kok rasanya bersalah sekali pada mama. Mengapa sekian tahun aku tinggal di rumah tak mau bertanya bagaimana caranya memasak. Jika masuk dapur pun aku lebih banyak memperhatikan saja tanpa praktek.

Dan kini, sendiri. Tanpa mama, aku harus belajar untuk bisa semuanya. Sesekali jika aku ingin membuat masakan seperti yang mama buat, aku menelpon dan bertanya resep. Meskipun dulu aku enggan mengikuti sarannya, tapi mama selalu memberiku semangat. Pun ketika mama bicara dengan suamiku, beliau selalu bertanya “Gimana, Mas masakan teteh enak?” dan dengan senyum kecilnya, suamiku selalu menjawab bijak “Enak, Ma..” kemudian dilanjutkan kembali dengan kalimat “Maafin teteh ya, Mas kalau belum mahir masaknya” njebb banget rasanya. Kok aku merasa bersalah ya. Hehe.. perkataan mama tidak pernah bermaksud untuk membuatku malu, justru mencerminkan seorang ibu yang selalu berpihak pada anaknya dan memeberi motivasi agar bisa belajar terus. Dan suamiku selalu membalas “Koki aja kalau nggak belajar nggak akan mahir, Ma. Setiap hari pun makin enak, Ma masakanya”

Ah, rasanya campur-campur memiliki mereka di dekatku. Tak pernah membuatku patah arang. Dan membuatku berpikir bahwa memang benar tak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Sekalipun kita diliputi sedikit atau banyak penyelasan “Mengapa tidak dari dulu..” tapi rasanya luar biasa jika kita mau belajar kembali dari awal.

                                     
                              sumber gambar; http:/www.rumahminimalisidaman.net

Menjadi seorang istri memang tidak hanya sekedar jadi “Tukang cuci setrika” atau “Koki” tapi menyajikan ragam suguhan dan perhatian melalui apa yang kita senangi. Membuat baju suami kita tetap rapi dan harum, memperhatikan apa yang menjadi masakan kesukaannya tidak ada salahnya toh

Biarlah itu semua aku anggap menjadi peran yang menakjubkan. Sesuatu yang sekiranya menjadi rutintitas menyenangkan yang harus aku lalui dalam jangka waktu panjang. Setiap orang memiliki kesenangannya masing-masing. Para perempuan  bekerja yang mungkin tidak memiliki banyak waktu untuk memasak makanan kesukaan suaminya pun, pasti memiliki cara sendiri untuk menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang istri. Memiliki cara sendiri untuk memberi kesenangan pada rumahnya dan suaminya.

Dan kini, aku mengakrabkan  diri dengan dapur hingga perlahan aku mulai jatuh cinta. Di tempat yang bernama dapur, aku menemukan banyak kenangan, terutama tentang mama. Saat wajahku berkeringat berhadapan dengan wajan dan kompor, aku seolah bisa merasakan bagaimana mama saat itu dengan raganya yang mungkin lelah namun tetap ceria memasak makanan setiap hari untuk kami. Bagaimana tulusnya kasih seorang Ibu tertuang dalam sebuah mangkuk sop. Mungkin tidak terlihat, tapi bagiku terasa kini. Saat aku berusaha keras belajar membuat makanan kesukaan suamiku, aku membuatnya dengan penuh keceriaan. 

Sama seperti yang ditunjukkan mama. Mungkin melalui memasak, Itulah salah satu cara dari ribuan cara mama menunjukkan sayangnya. Tidak hanya mama, ribuan Ibu lain pun sama. Tidak peduli murah atau mahalnya bahan masakan yang dibeli. tapi dari setiap irisan sayur dan racikan bumbu, ada kasih yang tertuang. Dan itu yang aku rasakan sekarang. Saat aku meracik bumbu, aku berpikir, aku harus memberikan yang terbaik untuk suamiku. Dan itulah yang dilakukan mama di rumah untuk anak dan suaminya. Dan kini itu juga cara sederhanaku untuk menyenangkan hati suamiku dan anakku kelak. Seperti yang aku katakan, setiap perempuan, setiap orang memiliki cara sendiri untuk membuat dunianya istimewa. Dan dari tempat bernama dapur inilah, aku masuk ke dunia yang berbeda. Dunianya mama yang dulu aku enggan memasukinya.

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^