Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Perempuan dengan senyum lembut itu, ibuku

Ini adalah tahun pertamaku tinggal jauh dari Ibu. Setelah menikah tahun lalu, aku mengikuti suami pindah ke Aceh. Rasanya ada sesuatu yang kosong di hari-hari awal aku tinggal jauh dari beliau. Sejak kecil sampai usiaku dua puluh enam tahun, tak pernah sekalipun aku jauh dari beliau. Kami layaknya sahabat. Mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya di rumah, kami amat dekat. Biasanya setiap hari aku bisa melihat senyum lembut Ibu menyambutku sepulang bekerja. Pun saat aku sakit, beliau selalu berada di sampingku. Aku tak akan sungkan bersikap manja dan menikmati belaian tangan Ibu.

Kini aku tak bisa setiap saat bertatap muka dengan Ibu. Rasanya rinduku sudah memuncak. Ibuku, seorang perempuan tegar, sahabat terbaikku sepanjang masa. Ingatkah engkau, Bu dulu kita sering menghabiskan waktu sore di ruang tamu sederhana rumah kita. Saat itu engkau akan dengan setia mendengarkan ceritaku. Sesekali engkau menimpalinya dengan candaan hangat layaknya teman. Di rumah, aku dan adik laki-lakiku terbiasa bersikap terbuka. Kami mendiskusikan segala macam hal dengan Ibu. Kami memahami jika Ibu lebih suka kami bercerita padanya dibanding berbicara pada orang lain. Jadi bagi kami, Ibu adalah tempat pertama kami untuk berbicara tentang apapun.

Masa kecilku dilewati dengan penuh perjuangan bersama Ibu. Aku ingat Ibuku berjualan Peyek kacang dan ikan teri untuk  menambah penghasilan keluarga. Setiap subuh beliau belanja kepasar dan kemudian mengolah bahan untuk di titipkan di warung-warung dekat rumah. Dan aku ingat bagaimana Ibuku dengan raganya yang lelah, namun tetap tersenyum di depan kami anak-anaknya. Mengajari kami tentang makna hidup. Ibu memang tidak pernah memanjakan kami dengan sesuatu yang bersifat benda karena beliau tidak sanggup untuk itu. Tapi kami memiliki kasih yang berlimpah. Kami sungguh beruntung memilikimu, Bu. Membimbing kami, dan mengajari kami menjadi kuat. Tidak dengan omelan melainkan dari contoh nyata yang kami lihat dari sosokmu.

Bicara soal Ibu memang tidak akan pernah ada habisnya bagiku. Kini, saat hanya bisa kudengar suaramu lewat sambungan telepon, seringkali aku menahan isakku. Mungkin Ibuku juga sama. Kebersamaan kita memanglah tidak sesering dulu, namun bagiku Ibu akan tetap ada di setiap nafasku. Ketika kini, aku menjalani hidupku bersama suami, aku selalu berusaha untuk menjadi sepertimu, Bu. Masih jelas kuingat bagaimana cara Ibu mengurus Ayah, aku dan kedua adikku. Tak pernah ada keluhan. 

Masih juga kuingat dulu saat keluarga kita mulai terpuruk, engkau dengan sabarnya mengisi tabungan tanah liat (Baca:celengan) dengan lembaran uang hasil berdagang. Ibuku dengan lembut mengatakan bahwa kami tidak perlu takut. Ada Allah yang Maha kaya yang akan mencukupkan kami. Beliau juga berkata bahwa uang tabungan inilah yang akan membantu kita suatu saat nanti. Dan aku bangga padamu, Bu. Karena dari uang itulah aku bisa sekolah meskipun hanya sampai SMK. Tak apa, Bu. Biar kelak anakku saja yang meneruskan cita-citaku untuk sekolah sampai tinggi. Seperti yagn Ibu selalu katakan, jika aku ingin terus menambah ilmu, masih ada buku yang bisa aku baca. Dan selalu ada banyak kesempatan untuk belajar. Tidak hanya di bangku sekolah. Di tempat kita berdiri pun, pasti ada ilmu yang bisa kita ambil.

Dari Ibu, aku belajar makna ikhlas. Aku pernah melihatmu terisak dalam doa. Namun ketika aku tanyakan mengapa Ibu menangis, engkau mengatakan bahwa tangismu adalah tangis bersyukur karena engkau memiliki kami dalam hidupmu. Ibu menganggap kami adalah pelipur lara dan penguat hati Ibu. Padahal justru sebaliknya, kami lah yang merasa bahwa Ibu adalah permata bagi kami. Padahal aku tahu mungkin tangismu karena keadaan dan perkataan sebagian orang yang menyakitkan. Tapi Ibu selalu cepat mengatakan “Menangis itu manusiawi, tapi apapun yang kita alami dan dapatkan kita harus ikhlas” Tidak mudah memang menjadi seperti Ibu. Aku masih harus berproses dan belajar agar memiliki kebesaran hati sepertinya.

Ibuku bukanlah seorang perempuan lulusan universitas dengan banyak gelar. Pun bukan seorang perempuan yang memiliki karier cemerlang di kantor. Ibuku juga bukan sesorang yang memiliki berlian sebagai pelengkap penampilannya. Namun bagi kami, Ibu adalah ratu di rumah teduh kami, gelar yang kami sematkan untuknya. Ibu adalah seorang perempuan yang berilmu luas dalam mendidik kami, dan Ibu adalah seorang perempuan sederhana dengan kekayaan hati yang tak terbatas. Seorang sahabat, perempuan yang melahirkan kami dan panutan kami dalam menjalani hidup dengan penuh rasa syukur dan ikhlas.



I love u mom more than u know. Setiap ibu pasti istimewa untuk anak-anaknya. Begitupun denganku. Mama adalah teladan, teman terbaik dan contoh nyata bagaimana menjadi seorang ibu yang istimewa :)

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^