Ini adalah tahun
pertamaku tinggal jauh dari Ibu. Setelah menikah tahun lalu, aku mengikuti
suami pindah ke Aceh. Rasanya ada sesuatu yang kosong di hari-hari awal aku
tinggal jauh dari beliau. Sejak kecil sampai usiaku dua puluh enam tahun, tak
pernah sekalipun aku jauh dari beliau. Kami layaknya sahabat. Mungkin karena
aku anak perempuan satu-satunya di rumah, kami amat dekat. Biasanya setiap hari
aku bisa melihat senyum lembut Ibu menyambutku sepulang bekerja. Pun saat aku
sakit, beliau selalu berada di sampingku. Aku tak akan sungkan bersikap manja
dan menikmati belaian tangan Ibu.
Kini aku tak bisa
setiap saat bertatap muka dengan Ibu. Rasanya rinduku sudah memuncak. Ibuku, seorang
perempuan tegar, sahabat terbaikku sepanjang masa. Ingatkah engkau, Bu dulu
kita sering menghabiskan waktu sore di ruang tamu sederhana rumah kita. Saat
itu engkau akan dengan setia mendengarkan ceritaku. Sesekali engkau
menimpalinya dengan candaan hangat layaknya teman. Di rumah, aku dan adik laki-lakiku
terbiasa bersikap terbuka. Kami mendiskusikan segala macam hal dengan Ibu. Kami
memahami jika Ibu lebih suka kami bercerita padanya dibanding berbicara pada
orang lain. Jadi bagi kami, Ibu adalah tempat pertama kami untuk berbicara
tentang apapun.
Masa kecilku dilewati
dengan penuh perjuangan bersama Ibu. Aku ingat Ibuku berjualan Peyek kacang dan
ikan teri untuk menambah penghasilan
keluarga. Setiap subuh beliau belanja kepasar dan kemudian mengolah bahan untuk
di titipkan di warung-warung dekat rumah. Dan aku ingat bagaimana Ibuku dengan
raganya yang lelah, namun tetap tersenyum di depan kami anak-anaknya. Mengajari
kami tentang makna hidup. Ibu memang tidak pernah memanjakan kami dengan
sesuatu yang bersifat benda karena beliau tidak sanggup untuk itu. Tapi kami
memiliki kasih yang berlimpah. Kami sungguh beruntung memilikimu, Bu.
Membimbing kami, dan mengajari kami menjadi kuat. Tidak dengan omelan melainkan
dari contoh nyata yang kami lihat dari sosokmu.
Bicara soal Ibu
memang tidak akan pernah ada habisnya bagiku. Kini, saat hanya bisa kudengar
suaramu lewat sambungan telepon, seringkali aku menahan isakku. Mungkin Ibuku
juga sama. Kebersamaan kita memanglah tidak sesering dulu, namun bagiku Ibu
akan tetap ada di setiap nafasku. Ketika kini, aku menjalani hidupku bersama
suami, aku selalu berusaha untuk menjadi sepertimu, Bu. Masih jelas kuingat
bagaimana cara Ibu mengurus Ayah, aku dan kedua adikku. Tak pernah ada keluhan.
Masih juga kuingat dulu saat keluarga kita mulai terpuruk, engkau dengan sabarnya mengisi tabungan tanah liat (Baca:celengan) dengan lembaran uang hasil berdagang. Ibuku dengan lembut mengatakan bahwa kami tidak perlu takut. Ada Allah yang Maha kaya yang akan mencukupkan kami. Beliau juga berkata bahwa uang tabungan inilah yang akan membantu kita suatu saat nanti. Dan aku bangga padamu, Bu. Karena dari uang itulah aku bisa sekolah meskipun hanya sampai SMK. Tak apa, Bu. Biar kelak anakku saja yang meneruskan cita-citaku untuk sekolah sampai tinggi. Seperti yagn Ibu selalu katakan, jika aku ingin terus menambah ilmu, masih ada buku yang bisa aku baca. Dan selalu ada banyak kesempatan untuk belajar. Tidak hanya di bangku sekolah. Di tempat kita berdiri pun, pasti ada ilmu yang bisa kita ambil.
Masih juga kuingat dulu saat keluarga kita mulai terpuruk, engkau dengan sabarnya mengisi tabungan tanah liat (Baca:celengan) dengan lembaran uang hasil berdagang. Ibuku dengan lembut mengatakan bahwa kami tidak perlu takut. Ada Allah yang Maha kaya yang akan mencukupkan kami. Beliau juga berkata bahwa uang tabungan inilah yang akan membantu kita suatu saat nanti. Dan aku bangga padamu, Bu. Karena dari uang itulah aku bisa sekolah meskipun hanya sampai SMK. Tak apa, Bu. Biar kelak anakku saja yang meneruskan cita-citaku untuk sekolah sampai tinggi. Seperti yagn Ibu selalu katakan, jika aku ingin terus menambah ilmu, masih ada buku yang bisa aku baca. Dan selalu ada banyak kesempatan untuk belajar. Tidak hanya di bangku sekolah. Di tempat kita berdiri pun, pasti ada ilmu yang bisa kita ambil.
Dari Ibu, aku belajar
makna ikhlas. Aku pernah melihatmu terisak dalam doa. Namun ketika aku tanyakan
mengapa Ibu menangis, engkau mengatakan bahwa tangismu adalah tangis bersyukur
karena engkau memiliki kami dalam hidupmu. Ibu menganggap kami adalah pelipur
lara dan penguat hati Ibu. Padahal justru sebaliknya, kami lah yang merasa
bahwa Ibu adalah permata bagi kami. Padahal aku tahu mungkin tangismu karena
keadaan dan perkataan sebagian orang yang menyakitkan. Tapi Ibu selalu cepat
mengatakan “Menangis itu manusiawi, tapi apapun yang kita alami dan dapatkan
kita harus ikhlas” Tidak mudah memang menjadi seperti Ibu. Aku masih harus
berproses dan belajar agar memiliki kebesaran hati sepertinya.
Ibuku bukanlah
seorang perempuan lulusan universitas dengan banyak gelar. Pun bukan seorang
perempuan yang memiliki karier cemerlang di kantor. Ibuku juga bukan sesorang
yang memiliki berlian sebagai pelengkap penampilannya. Namun bagi kami, Ibu
adalah ratu di rumah teduh kami, gelar yang kami sematkan untuknya. Ibu adalah
seorang perempuan yang berilmu luas dalam mendidik kami, dan Ibu adalah seorang
perempuan sederhana dengan kekayaan hati yang tak terbatas. Seorang sahabat,
perempuan yang melahirkan kami dan panutan kami dalam menjalani hidup dengan
penuh rasa syukur dan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^