Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Sudahkah kita bersyukur hari ini?

Musim hujan begini, membuat kita betah berlama-lama berdiam di balik selimut. Udara dingin seringkali membuat kita malas untuk beraktifitas. Tetapi ada kewajiban yang harus kita kerjakan, so semangattt :D

Biasanya dulu saat dirumah, kalau hujan begini Mama akan membuatkan kami camilan. Entah itu pisang goreng ataupun sekedar merebus singkong. Memang jika cuaca dingin membuat perut kian lapar. Yang tadinya jarang ngemil bisa ngemil terus. Apalagi jika ditambah dengan teh manis hangat ataupun susu cokelat, beuh...mantap.

Tapi saat hujan kemarin ketika saya mencicipi camilan, tiba-tiba saya ingat mereka di luar sana yang mungkin tidak memiliki tempat tinggal. Dulu saat saya pulang kerja, dari jendela bus sering saya melihat manusia gerobak. Saya menyebutnya demikian karena saat itu sudah diatas pulul sepuluh malam dan mereka tidur dalam gerobaknya. Tidak jarang ada juga anak-anak mereka. Saya pernah melihat seorang bapak yang tidur disamping gerobaknya. Dan ada dua bocah yang muncul dari balik gerobak. Tidak punya rumahkah mereka?

Di tambah melihat tayangan tv yang bisa membuat kita berkaca-kaca L sungguh beruntunglah kita masih punya tempat berteduh meskipun mungkin tidak mewah. Ibu saya mengatakan bahwa  nyamannya sebuah rumah tidak selalu dilihat dari seberapa mewahnya. Dan rasanya memang betul. Saya tidak tahu apakah mereka yang tinggal di gerobak merasa nyaman atau tidak. Tidak dipungkiri memang setiap manusia pasti menginginkan tinggal di tempat yang nyaman, mungkin termasuk mereka yang tinggal di gerobak. Tetapi saat saya melihat ada senyum di anak-anak mereka, saya menjadi sedikit bertanya, “apakah mereka masih  bisa menemukan kebahagiaan walaupun kondisinya seperti itu?” entahlah. Yang pasti jika saya ingin membandingkan kondisi mereka dengan kondisi saya, saya sudah pasti harus bersyukur.


                                                       sumber gambar: inspirably.com

 Saya jadi ingat dulu ketika remaja sempat mengeluh tentang kondisi rumah kami yang bocor di banyak sudut. Sempat mengeluh kenapa rumah saya tidak bagus seperti orang lain? Mengapa rumah saya tidak mewah seperti orang lain? Namun kemudian keluhan saya tersebut di jawab oleh mama saya, “masih banyak loh, Teh di luar sana yang ngga punya rumah. Rumah kita kan cuma bocor aja. Ngga apa-apa nanti juga bisa diperbaiki” Saat itu saya hanya diam saja. Tidak sepenuhnya mengamini perkataan mama saya. Tetapi lebih karena saya tidak ingin berdebat saat itu.

Namun kini, saya teringat kembali percakapan kami di masa lampau tersebut. Bahwa memang betul masih banyak orang yang jauh tidak beruntung di banding kita. Jika terus mengeluh untuk sebuah kondisi yang seharusnya di syukuri, rasanya kita tidak tahu diri. Mama saya selalu  mengajari kami jika hidup tidak untuk dikeluhkan tetapi untuk diperjuangakan. Setiap kali kita mengeluh, setiap itu pula kita akan membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Dan belum tentu perbandingan kita benar adanya.

Dulu saat saya protes mengapa saya tidak bisa seperti teman saya yang  dengan mudahnya memperoleh sesuatu yang diinginkan, mama berkata pada saya bahwa saya justru harus bersyukur. Mama mengatakan bahwa belum tentu semua yang diperoleh teman saya bisa membuatnya bahagia. Dan jika saya ingin memperoleh sesuatu, saya  harus memperjuangkannya sendiri. Dengan bahasa sederhananya mama berkata, “nanti kalau teteh sudah mandiri, bekerja, bisa membeli apa yang teteh mau. Sekarang sabar dulu, karena mama sebagai orang tua nggak sanggup memenuhi keinginan anak”

                                           

Air mata saya tertahan. Saya merasa kurang ajar sekali pada waktu itu. Mengapa saya harus bertanya hal-hal seperti itu? Rasanya sakit mendengar mama berkata demikian karena beliau tidak bisa memenuhi keinginan kami. Saya langsung menghabur ke pelukan mama. Saya tidak bisa berkata. Terlalu malu untuk mengucap maaf. Saya sudah menyakitinya. Tapi beningnya hati seorang ibu, tidak pernah membuat saya merasa kecil hati. Meskipun tidak terucap, mama selalu memaafkan saya.

Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri akan menjadi pribadi yang mandiri dan mau berjuang untuk meraih apa yang saya inginkan. Saya tidak ingin lagi melihat mama merasa menjadi orang tua yang tidak sanggup memberikan kebahagiaan pada anak-anaknya. Sungguh, Ma jika mama tahu, mama sudah memberi lebih dari cukup untuk kami.
Mama mengajari kami empati. Membiasakan diri kami untuk melihat ke bawah, pada kondisi mereka yang jauh lebih sulit daripada kami. Bahkan pernah mama berkata bahwa apa yang kita miliki sekarang haruslah kita syukuri karena bukan tidak mungkin jika kondisi hidup kita  berubah lebih baik di masa depan, hal ini akan menjadi sebuah kenangan. Pernah merasakan hidup yang penuh perjuangan dan kita akan lebih banyak bersyukur.

Menikmati hidup yang kita jalani sekarang,  bersyukur bahwa sampai hari ini kita masih diberi kesempatan menghirup udara, bersyukur karena kita masih diberi waktu untuk memperbaiki hidup, bersyukur karena kita masih memiliki orang-orang terkasih di samping kita, bersyukur bahwa ternyata hidup kita masih diliputi kebahagiaan, bersyukur itu mudah.

Lhokseumawe, januari 2015

Mama memang bukan seorang filsuf ataupun seorang sarjana pendidikan. Tetapi bagi kami, beliau adalah seorang pendidik yang terbaik untuk kami, anak-anaknya..



Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^