Musim hujan begini, membuat kita betah berlama-lama berdiam di balik
selimut. Udara dingin seringkali membuat kita malas untuk beraktifitas. Tetapi
ada kewajiban yang harus kita kerjakan, so semangattt :D
Biasanya dulu saat dirumah, kalau hujan begini Mama akan membuatkan kami
camilan. Entah itu pisang goreng ataupun sekedar merebus singkong. Memang jika
cuaca dingin membuat perut kian lapar. Yang tadinya jarang ngemil bisa ngemil
terus. Apalagi jika ditambah dengan teh manis hangat ataupun susu cokelat,
beuh...mantap.
Tapi saat hujan kemarin ketika saya mencicipi camilan, tiba-tiba saya
ingat mereka di luar sana yang mungkin tidak memiliki tempat tinggal. Dulu saat
saya pulang kerja, dari jendela bus sering saya melihat manusia gerobak. Saya
menyebutnya demikian karena saat itu sudah diatas pulul sepuluh malam dan
mereka tidur dalam gerobaknya. Tidak jarang ada juga anak-anak mereka. Saya
pernah melihat seorang bapak yang tidur disamping gerobaknya. Dan ada dua bocah
yang muncul dari balik gerobak. Tidak punya rumahkah mereka?
Di tambah melihat tayangan tv yang bisa membuat kita berkaca-kaca L
sungguh beruntunglah kita masih punya tempat berteduh meskipun mungkin tidak
mewah. Ibu saya mengatakan bahwa nyamannya sebuah rumah tidak selalu dilihat
dari seberapa mewahnya. Dan rasanya memang betul. Saya tidak tahu apakah mereka
yang tinggal di gerobak merasa nyaman atau tidak. Tidak dipungkiri memang
setiap manusia pasti menginginkan tinggal di tempat yang nyaman, mungkin
termasuk mereka yang tinggal di gerobak. Tetapi saat saya melihat ada senyum di
anak-anak mereka, saya menjadi sedikit bertanya, “apakah mereka masih bisa menemukan kebahagiaan walaupun
kondisinya seperti itu?” entahlah. Yang pasti jika saya ingin membandingkan
kondisi mereka dengan kondisi saya, saya sudah pasti harus bersyukur.
sumber gambar: inspirably.com
Saya jadi ingat dulu ketika remaja
sempat mengeluh tentang kondisi rumah kami yang bocor di banyak sudut. Sempat
mengeluh kenapa rumah saya tidak bagus seperti orang lain? Mengapa rumah saya
tidak mewah seperti orang lain? Namun kemudian keluhan saya tersebut di jawab
oleh mama saya, “masih banyak loh, Teh di luar sana yang ngga punya rumah.
Rumah kita kan cuma bocor aja. Ngga apa-apa nanti juga bisa diperbaiki” Saat
itu saya hanya diam saja. Tidak sepenuhnya mengamini perkataan mama saya.
Tetapi lebih karena saya tidak ingin berdebat saat itu.
Namun kini, saya teringat kembali percakapan kami di masa lampau
tersebut. Bahwa memang betul masih banyak orang yang jauh tidak beruntung di
banding kita. Jika terus mengeluh untuk sebuah kondisi yang seharusnya di
syukuri, rasanya kita tidak tahu diri. Mama saya selalu mengajari kami jika hidup tidak untuk
dikeluhkan tetapi untuk diperjuangakan. Setiap kali kita mengeluh, setiap itu
pula kita akan membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Dan belum tentu
perbandingan kita benar adanya.
Dulu saat saya protes mengapa saya tidak bisa seperti teman saya yang dengan mudahnya memperoleh sesuatu yang
diinginkan, mama berkata pada saya bahwa saya justru harus bersyukur. Mama mengatakan
bahwa belum tentu semua yang diperoleh teman saya bisa membuatnya bahagia. Dan
jika saya ingin memperoleh sesuatu, saya
harus memperjuangkannya sendiri. Dengan bahasa sederhananya mama
berkata, “nanti kalau teteh sudah mandiri, bekerja, bisa membeli apa yang teteh
mau. Sekarang sabar dulu, karena mama sebagai orang tua nggak sanggup memenuhi
keinginan anak”
Air mata saya tertahan. Saya merasa kurang ajar sekali pada waktu itu.
Mengapa saya harus bertanya hal-hal seperti itu? Rasanya sakit mendengar mama
berkata demikian karena beliau tidak bisa memenuhi keinginan kami. Saya
langsung menghabur ke pelukan mama. Saya tidak bisa berkata. Terlalu malu untuk
mengucap maaf. Saya sudah menyakitinya. Tapi beningnya hati seorang ibu, tidak
pernah membuat saya merasa kecil hati. Meskipun tidak terucap, mama selalu
memaafkan saya.
Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri akan menjadi pribadi yang
mandiri dan mau berjuang untuk meraih apa yang saya inginkan. Saya tidak ingin
lagi melihat mama merasa menjadi orang tua yang tidak sanggup memberikan
kebahagiaan pada anak-anaknya. Sungguh, Ma jika mama tahu, mama sudah memberi
lebih dari cukup untuk kami.
Mama mengajari kami empati. Membiasakan diri kami untuk melihat ke bawah,
pada kondisi mereka yang jauh lebih sulit daripada kami. Bahkan pernah mama
berkata bahwa apa yang kita miliki sekarang haruslah kita syukuri karena bukan
tidak mungkin jika kondisi hidup kita
berubah lebih baik di masa depan, hal ini akan menjadi sebuah kenangan.
Pernah merasakan hidup yang penuh perjuangan dan kita akan lebih banyak
bersyukur.
Menikmati hidup yang kita jalani sekarang, bersyukur bahwa sampai hari ini kita masih
diberi kesempatan menghirup udara, bersyukur karena kita masih diberi waktu
untuk memperbaiki hidup, bersyukur karena kita masih memiliki orang-orang
terkasih di samping kita, bersyukur bahwa ternyata hidup kita masih diliputi
kebahagiaan, bersyukur itu mudah.
Lhokseumawe, januari 2015
Mama memang bukan seorang filsuf ataupun seorang sarjana pendidikan.
Tetapi bagi kami, beliau adalah seorang pendidik yang terbaik untuk kami,
anak-anaknya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^