Tulisan ini pernah saya ikutkan dalam salah satu lomba menulis, namun belum berhasil lolos :D
Tetapi meskipun begitu, saya tetap semangat menulis :D dan tulisan yang belum sempurna ini saya suguhkan sebagai bacaan untuk sahabat semua. Happy reading :D
Tetapi meskipun begitu, saya tetap semangat menulis :D dan tulisan yang belum sempurna ini saya suguhkan sebagai bacaan untuk sahabat semua. Happy reading :D
Gemerisik
pepohonan yang bertiup sayhdu dengan rona mentari yang mulai tenggelam. Saat dimana
langit menjadi redup, dituntun memasuki gerbang malam dengan cahaya rembulan
nan elok, engkau hadir.
Boleh
saja orang menyebut tempatmu itu sebuah gubuk reyot. Tapi lihatlah dan rasakan
tatkala engkau menyentuhkan telapak kakimu di lantai bambu sederhana ini.
Relung hatimu akan bergetar, bahkan berguncang. Matamu dengan sendirinya akan
sembab. Dan pada akhirnya, nafasmu akan tercekat. Seketika engkau akan merasa
kerdil. Pulang dengan dihantui sepotong kalimat sakti yang sekiranya akan
berdengung kencang di telinga, hati dan pikiranmu.
Ada
sebuah cahaya yang menerangi tempatmu. Sinar petromak yang menempel enggan di
dinding bambu yang lapuk itu jelas tak
akan sanggup memancarkan cahaya seterang itu. Senyum khasmu yang meluncur tulus
pada anak-anak itu membuatku terpukau. Sungguh aneh melihat orang dengan
kondisi sepertimu masih bisa menyunggingkan senyum. Aku saja, yang berlimpah
duniawi sungguh sulit untuk tersenyum. Bagiku, tawa dan sesuatu yang orang
sebut dengan kebahagiaan musnah sudah.
Orang-orang
membanggakanku karena limpahan materi yang aku miliki. Tetapi sesungguhnya aku
ini amat miskin. Bila aku bandingkan dengan sosok istimewa penghuni gubuk reyot
itu, amatlah jauh. Dia memiliki kebahagiaan penuh sedangkan aku tidak. Mencicipi secuilpun kebahagiaan
yang sesungguhnya ibarat mendaki gunung yang tingginya tak berujung.
Aku
berada dalam masa pencarian. Hidupku layaknya kotak usang kosong yang berdebu.
Sunyi, gelap, bahkan angin kedamaian pun enggan bertiup walau satu hembusan.
Di
lereng gunung ini, aku menemukan sentuhan. Saat matahari mulai tenggelam dan
lembayung muncul dengan kuas jingganya, ada ritme yang mendamaikan. Kecipak
bunyi sandal dari anak-anak yang berlarian menuju tempatmu sambil mendekap
kitab dan berjejer rapi shalat berjamaah, membuatku didera rindu.
Singkat
saja aku mengenal sosoknya. Tapi bermakna dalam. Pemilik gubuk sederhana itu
amat lembut. Seperti namanya, Latif. Ia sebatang kara namun ia dilimpahi cinta.
Coba saja jika engkau melihatnya, engkau pun akan cemburu sepertiku. Punggung
tangannya selalu menjadi rebutan untuk diciumi anak-anak. Keriangan dan
ketulusan mengajari anak-anak membaca kitab membuatku di dera haru. Aku,
seorang bertubuh kekar dan seorang pecinta alam sejati tak akan segan untuk
menampakkan air mata ketika melihat hal itu.
Gubuk
reyot yang dipenuhi cinta dan ketulusan ini adalah tempat terindah yang pernah
aku singgahi. Dari seorang pemuda berwajah tirus bernama Latif, seorang guru
mengaji yang amat bersahaja dan rendah hati, aku menemukan setitik cahaya.
Membuat mata hatiku tersingkap. Bibir mungilnya tak pernah lepas melantunkan
pujian untuk-Nya. dan ketika aku kembali ke rumahku di kota metropolitan,
kalimat yang diucapkannya selalu berdentum di telingaku. ‘Bang, jika engkau
merasa tak bisa berdamai dengan hati dan jiwamu. Dan engku merasa hidupmu selalu
dilanda kekurangan, lihatlah diriku ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang
patut engkau dustakan...’
Aku
masih memiliki sepasang kaki yang tegap dan harta duniawi yang kini atas
seizin-Nya akan aku langkahkan menuju kebaikan. Saat lembayung muncul dengan
anggun, indera pendengaranku memutar rekaman suara milik Latif yang memimpin
shalat berjamaah. Berlanjut dengan lantunan ayat-ayat suci yang meluncur dari
bibir mungil anak-anak. Di gubuk reyot itu akau bertemu saudara baruku. Seorang
anak manusia yang membawa pencerahan untukku. Latif, seorang penderita lumpuh
layu yang memberi bias cahaya memahami arti dari kebahagiaan sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^