Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Gubuk Cahaya




Tulisan ini pernah saya ikutkan dalam salah satu lomba menulis, namun belum berhasil lolos :D
Tetapi meskipun begitu, saya tetap semangat menulis :D dan tulisan yang belum sempurna ini saya suguhkan sebagai bacaan untuk sahabat semua. Happy reading :D



Gemerisik pepohonan yang bertiup sayhdu dengan rona mentari yang mulai tenggelam. Saat dimana langit menjadi redup, dituntun memasuki gerbang malam dengan cahaya rembulan nan elok, engkau hadir.
Boleh saja orang menyebut tempatmu itu sebuah gubuk reyot. Tapi lihatlah dan rasakan tatkala engkau menyentuhkan telapak kakimu di lantai bambu sederhana ini. Relung hatimu akan bergetar, bahkan berguncang. Matamu dengan sendirinya akan sembab. Dan pada akhirnya, nafasmu akan tercekat. Seketika engkau akan merasa kerdil. Pulang dengan dihantui sepotong kalimat sakti yang sekiranya akan berdengung kencang di telinga, hati dan pikiranmu.
Ada sebuah cahaya yang menerangi tempatmu. Sinar petromak yang menempel enggan di dinding  bambu yang lapuk itu jelas tak akan sanggup memancarkan cahaya seterang itu. Senyum khasmu yang meluncur tulus pada anak-anak itu membuatku terpukau. Sungguh aneh melihat orang dengan kondisi sepertimu masih bisa menyunggingkan senyum. Aku saja, yang berlimpah duniawi sungguh sulit untuk tersenyum. Bagiku, tawa dan sesuatu yang orang sebut dengan kebahagiaan musnah sudah.
Orang-orang membanggakanku karena limpahan materi yang aku miliki. Tetapi sesungguhnya aku ini amat miskin. Bila aku bandingkan dengan sosok istimewa penghuni gubuk reyot itu, amatlah jauh. Dia memiliki kebahagiaan penuh sedangkan  aku tidak. Mencicipi secuilpun kebahagiaan yang sesungguhnya ibarat mendaki gunung yang tingginya tak berujung.
Aku berada dalam masa pencarian. Hidupku layaknya kotak usang kosong yang berdebu. Sunyi, gelap, bahkan angin kedamaian pun enggan bertiup walau satu hembusan.
Di lereng gunung ini, aku menemukan sentuhan. Saat matahari mulai tenggelam dan lembayung muncul dengan kuas jingganya, ada ritme yang mendamaikan. Kecipak bunyi sandal dari anak-anak yang berlarian menuju tempatmu sambil mendekap kitab dan berjejer rapi shalat berjamaah, membuatku didera rindu.
Singkat saja aku mengenal sosoknya. Tapi bermakna dalam. Pemilik gubuk sederhana itu amat lembut. Seperti namanya, Latif. Ia sebatang kara namun ia dilimpahi cinta. Coba saja jika engkau melihatnya, engkau pun akan cemburu sepertiku. Punggung tangannya selalu menjadi rebutan untuk diciumi anak-anak. Keriangan dan ketulusan mengajari anak-anak membaca kitab membuatku di dera haru. Aku, seorang bertubuh kekar dan seorang pecinta alam sejati tak akan segan untuk menampakkan air mata ketika melihat hal itu.
Gubuk reyot yang dipenuhi cinta dan ketulusan ini adalah tempat terindah yang pernah aku singgahi. Dari seorang pemuda berwajah tirus bernama Latif, seorang guru mengaji yang amat bersahaja dan rendah hati, aku menemukan setitik cahaya. Membuat mata hatiku tersingkap. Bibir mungilnya tak pernah lepas melantunkan pujian untuk-Nya. dan ketika aku kembali ke rumahku di kota metropolitan, kalimat yang diucapkannya selalu berdentum di telingaku. ‘Bang, jika engkau merasa tak bisa berdamai dengan hati dan jiwamu. Dan engku merasa hidupmu selalu dilanda kekurangan, lihatlah diriku ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang patut engkau dustakan...’
Aku masih memiliki sepasang kaki yang tegap dan harta duniawi yang kini atas seizin-Nya akan aku langkahkan menuju kebaikan. Saat lembayung muncul dengan anggun, indera pendengaranku memutar rekaman suara milik Latif yang memimpin shalat berjamaah. Berlanjut dengan lantunan ayat-ayat suci yang meluncur dari bibir mungil anak-anak. Di gubuk reyot itu akau bertemu saudara baruku. Seorang anak manusia yang membawa pencerahan untukku. Latif, seorang penderita lumpuh layu yang memberi bias cahaya memahami arti dari kebahagiaan sejati.

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^