Antologi ini saya dapatkan dari lomba menulis yang diselenggarakan oleh salah satu penulis, yaitu Uda Agus. Berisi kumpulan cerpen dari beberapa penulis.
Meskipun masih tergabung dalam sebuah antologi dan belum punya karya solo, tapi tetap semangat :D
Semoga jadi pelecut semangatku untuk tetap terus belajar menulis..menulis..dan menulis
it's my world and i love writing :D
Selamat membaca. JIka masih banyak kekurangan, harap dimaklumi ya. Hehe
Meskipun masih tergabung dalam sebuah antologi dan belum punya karya solo, tapi tetap semangat :D
Semoga jadi pelecut semangatku untuk tetap terus belajar menulis..menulis..dan menulis
it's my world and i love writing :D
Selamat membaca. JIka masih banyak kekurangan, harap dimaklumi ya. Hehe
Ia tak tahu harus berbuat
apa. Ia ingin menangis tapi tak bisa. Ia ingin berteriak dan meraung tapi tak
bisa juga. Yang bisa ia lakukan hanyalah memandang jasadnya sendiri. Penuh
lebam. Ia masih setengah hidup. Tak ada yang menungguinya dan melantunkan doa
untuknya. Berada dalam jalur tarik menarik antara hidup dan mati.
Ia memandang kosong. Menggigil ! penuh rasa takut. Ia
menutup kedua telinganya, melindungi wajahnya dengan menutupkan telapak
tangannya. Ia dipaksa kembali ke peristiwa beberapa waktu yang lalu. Isi
kepalanya memuntahkan semua hal yang diingatnya.
Sebut saja ia Sarman. Usianya belum genap tujuh belas tahun.
Pribadinya sederhana dan Ia suka tersenyum meskipun seringkali orang
mengerenyitkan dahi ketika kali pertama melihat parasnya. Sarman memiliki tanda
lahir berupa bintik-bintik merah kehitaman yang memenuhi pipi sebelah kirinya.
Mata sebelah kirinya pun tumbuh tak
sempurna. Tapi lihatlah dibalik parasnya yang sedikit menyeramkan, Sarman
adalah seorang yang berotak cerdas. Lebih tepatnya, dia manusia yang selalu
haus ilmu.
Sarman tak tahu Ayah dan Ibunya karena memang Ia tak
pernah mengenalnya. Ia hidup dan dibesarkan seorang nenek yang kini mulai
renta. Nenek siapa, Sarman pun tak tahu. Ia tak ada hubungan darah dengannya.
Tapi sungguhlah Ia merasa begitu sayang pada si Nenek. Nenek adalah penyambung
hidupnya. Pusat semangat hidup Sarman.
Sudah tiga tahun ini Sarman mengambil alih tugas Nenek
sepenuhnya. Mencari selembar rupiah untuk bertahan hidup. Sepulang sekolah,
Sarman melakoni pekerjaannya. Berbekal selembar karung usang, Ia akan mulai
menyusuri jalan dan tong sampah. Berharap menemukan benda-benda yang bisa Ia
jual ke pengepul. Peluhnya mengalir dan Ia tetap tersenyum. Jika Ia mulai
mengeluh, dengan sendirinya hati, mata dan telinga Sarman akan mengingatkannya.
Hatinya akan mengingatkan bahwa meskipun Ia bekerja dengan sampah yang kotor,
Ia mencari mencari rezeki dengan jalan bersih. Matanya akan mengingatkan Sarman
dengan memutar potongan gambar yang akan membuatnya mengucap syukur.
Ia melihat orang-orang disekitarnya yang jauh lebih tidak beruntung. Menurut orang kebanyakan, Sarman bukanlah orang yang beruntung dalam hidup. Ajaib kalaulah Sarman masih menganggap hidupnya lebih baik dan beruntung dari orang lain. Ia ingat Ia masih punya Nenek yang menuntunnya dengan baik, Ia ingat kesempatan bersekolah yang didapatnya, dan segala hal yang membuat dia tersenyum. Ah, andai kebanyakan orang seperti Sarman. Dan yang terakhir, telinga Sarman akan mengingatkannya dengan kalimat guru mengajinya yang dikutip dari kitab suci. Terngiang-ngiang di telinga Sarman, “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”
Ia melihat orang-orang disekitarnya yang jauh lebih tidak beruntung. Menurut orang kebanyakan, Sarman bukanlah orang yang beruntung dalam hidup. Ajaib kalaulah Sarman masih menganggap hidupnya lebih baik dan beruntung dari orang lain. Ia ingat Ia masih punya Nenek yang menuntunnya dengan baik, Ia ingat kesempatan bersekolah yang didapatnya, dan segala hal yang membuat dia tersenyum. Ah, andai kebanyakan orang seperti Sarman. Dan yang terakhir, telinga Sarman akan mengingatkannya dengan kalimat guru mengajinya yang dikutip dari kitab suci. Terngiang-ngiang di telinga Sarman, “Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”
Melihat Nenek bersimpuh menengadahkan tangan padaNya dan
meluncurkan doa-doa untuk Sarman selalu membuat hatinya haru. Ia selalu haru
melihat Nenek menangis dalam doa. Memakai mukena bututnya, Nenek khusyuk
berdoa. Berlama-lama mengadu, memasrahkan dan berharap doa-doanya dikabulkan.
Diam-diam, Sarman mengamini dalam hati. “Semoga Allah selalu merahmatimu Nek,”
lirihnya.
Di sekolah, Sarman termasuk orang yang pandai bergaul. Ia
disenangi dan disayangi banyak orang. Ia tak pernah merasa kecil hati dengan
segala yang ada pada dirinya. Ia tak pernah mengurusi hal-hal yang tak
berhubungan dengan prestasi. Ia ingin terus menjadi pelita untuk Nenek dan
orang-orang disekitarnya. Ia ingin terus belajar, belajar dan belajar.
Memperbanyak ilmu agar kelak bisa mentransfer ilmunya pada orang-orang yang tak
beruntung.
Sarman sudah memulainya dari sekarang. Tiap akhir pekan,
Ia akan mengumpulkan anak-anak dilingkungan gubuknya. Mengajari baca tulis,
mendongeng, dan banyak hal lainnya yang sanggup membuat anak-anak tersenyum dan
antusias bertanya. Dan ini menjadi hiburan tersendiri bagi Sarman.
Mukena berbordir bunga itu dengan cantiknya menghiasi
manequin di sebuah toko yang dilewati Sarman. Ia melewati toko itu setiap hari.
Setiap kali melihatnya, Ia selalu ingat Nenek dengan mukena bututnya. “Alangkah
senang jika Nenek memilikinya. Ia akan mulai menabung untuk bisa membelinya dan
menjadikannya hadiah untuk Nenek.
Sarman sadar kalau Ia akan membutuhkan waktu lama untuk
bisa membelinya. Dan Ia mulai menyisihkan uang dari hasil memulung. Disimpannya
uang kertas kumal itu dalam sebuah toples plastik. “Mudah-mudahan ketika
uangnya telah cukup, mukena itu belum dibeli orang”. Bibir Sarman melengkung.
Allah memang Maha Pengasih dan Maha Pemberi Rezeki. Allah
sanggup melakukan apapun yang dikehendakiNya. Termasuk memberi rezeki dari arah
yang tidak diduga-duga. Kemarin, Sarman mewakili sekolahnya mengikuti lomba
sains. Ia menjadi juara kedua dalam lomba. Dan sungguh tak disangka kalau
hadiah lomba itu adalah uang sebesar Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah. Hatinya
membuncah. Dadanya naik turun menahan perasaan haru. Ia akan sanggup membayar
harga mukena yang tertera di etalase toko. Bahkan ia juga memiliki kelebihan
uang Lima Puluh Ribu Rupiah. Ia membayangkan Nenek yang akan tersenyum haru
ketika melihat Sarman menyerahkan mukena dan sajadah sebagai hadiah.
Bibir Sarman melengkung bak bulan sabit. Sore nanti, Ia
akan pergi ke toko.
Darah mengucur
dari lubang hidung Sarman. Ia meringkuk seperti anak kucing kedinginan. Ia
merasakan sakit yang luar biasa. Matanya mulai tak bisa melihat jelas.
Pandangannya kabur. Kepalanya dirasakannya begitu sakit setelah dihantam beberapa
orang berbadan jauh lebih besar darinya. Sekujur tubuhnya dipenuhi memar. Nafas
Sarman tersenggal. Ia merasa sulit menghirup udara. Ia mendekap sebuah
bungkusan yang amat berharga. “Nenek……” lirihnya. Mukena cantik dan sebuah sajadah
kini menjadi miliknya.
Satu jam sebelumnya….
Sarman memasuki toko yang selama ini menjadi magnet
untuknya. Ia membeli sebuah mukena dan sajadah. Tak ada yang lebih bahagia dari
Sarman hari itu. Ia akan pulang ke gubuk dengan membawa kejutan manis untuk
nenek.
Keluar dari toko, ia mendekap hati-hati hadiahnya itu.
Ketika sampai dibelokan sebuah jalan, tiba-tiba Sarman tersungkur setelah
sebelumnya Ia diteriaki Pencuri.
Ia belum sempat membuka mulutnya hendak membela diri,
orang-orang itu sudah terlebih dahulu mengeroyoknya. Seorang pria berkulit
hitam legam berkata kalau Sarman mencuri di toko yang tadi didatanginya.
Sarman menggigil ketakutan. Jelas Ia bingung. Ia tak
merasa mencuri karena untuk mukena itu, Ia jelas-jelas membayar. Tapi rupanya
bukan mukena itu yang mereka tuduhkan dicuri Sarman. Melainkan sebuah dompet!
Sarman bertambah bingung, mengapa orang-orang ini seenaknya menuduh dia
mencuri.
Seorang paruh baya berambut tipis membentak Sarman. “Ga
usah banyak omong lu! Tadi gue ada di toko dan gue lihat lu ngambil dompet ibu
itu!”.
Sarman mencoba membela diri, namun suara teriakan
penjelasannya teredam oleh kebringasan orang-orang itu. Sarman yang kurus
kering limbung. Tanpa dikomando, mereka memukuli, menendang, menyumpahi Sarman
yang tak bisa berkutik. Ia tak bisa melawan orang-orang yang mengganas itu.
“Allah……” ucapnya.
Mata Sarman berkunang-kunang. Si paruh baya berambut tipis
itu tersenyum licik. Tangan kanannya memegang saku jaket. Ia meraba isinya.
Sebuah dompet ! Diliriknya Sarman yang tergeletak. Ah, siapa peduli !
Nenek tak pernah mengajari mencuri. Dan Ia sendiripun tak
pernah ingin mencuri. Ia tak ingin menjadi sampah. Ia ingin hidup lurus dan
terus bersih. Seperti yang diajarkan Nenek dan guru mengajinya. “Allah, mengapa
mereka menuduhku mencuri?”. Aku memang kumal dan wajahku sedikit berbeda dari
orang lain, tapi apakah itu lantas mereka berhak menuduhku pencuri? Aku bukan
pencuri… Aku bukan pencuri…. Aku bukan
pencuri….
Bibir Sarman
bergetar.
Kali ini air mata Sarman turun dengan sendirinya. Ia
kembali memandangi jasadnya sendiri. Di sudut sebuah rumah sakit tanpa Nenek
yang mendampinginya. Darah masih mengucur dari hidungnya. Bibirnya mulai
membiru. Badannya tak bergerak. Dan Ia masih memohon agar Ia masih bisa
menghirup udara.
Sarman terduduk memeluk kedua lututnya. Hatinya perih. Ia
belum sempat pulang dan memberikan mukena. Ia bungkus sebagai hadiah.
Di sebuah bangunan sederhana, mata Nenek basah. Ia
menangis mengangkat kedua tangannya. Berbalut mukena yang sudah lapuk, Ia
teringat bayi yang masih merah yang enam belas tahun lalu Ia ambil dari sebuah
box dekat tong sampah. Seseorang membuang makhluk itu tanpa kasih. Ia rawat dan
Ia besarkan. “Sarman…” anakku. Ada perasaan cemas yang menghinggapi hati si
Nenek. Ia melirik jam dinding mungil. Sudah dini hari dan Sarman tak kunjung
pulang.
Sementara itu disudut sebuah jalan, bungkus plastik
berisi mukena berbordir indah dan sebuah sajadah tergeletak begitu saja.
Sarman menangis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^