Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Mayana dalam diam #Mayaseries

Ia menggerutu. Desauan angin menceracau menusuk gendang telinganya. Sebuah kesialan kah ia bertemu Nero di alam maya? Atau sebuah anugerahkah yang diberikan Tuhan? Mayana menatap nanar. Dalam bayangan bola mata hitamnya  ada sebuah asa semu. “Ah, dasar kau Nero! Satu waktu, aku ingin kau enyah saja dari setiap sudut labirin otakku! Namun disatu waktu lain aku begitu merindukanmu! Hah, gila!”

Mayana memang sedang mengarah gila sepertinya. Ia sering bicara sendiri pada cermin hatinya. Bukan...bukan sebuah kegilaan. Hanya sebuah perjalanan menuju sebuah celah yang membangunkan dirinya dari tidur panjang. Mengetuk halus setiap ujung syarafnya. Tentang sebuah rasa. Cintakah? Hmmm... Mayana tak mau berpikir.

Ia ditikam buluh perindu. “aku ini bodoh atau memang terlalu pandai untuk membodohi diriku sendiri?” lagi-lagi Mayana bicara pada angin yang enggan menyapanya barang secuil pun. Angkuhnya sang angin membuat Mayana sendu. Ia minta dibisiki sebuah jawab. Tanya itu apa? Dan apakah jawab adalah sebuah penyelesaian dari tanya?

Mayana di paksa jatuh. Ia tersungkur. Mendapati dirinya yang biru lebam. Lukanya tak dapat diraba dan dilihat manusia manapun. Luka itu abstrak namun nyata. “ hei, kau memang penjahat, Nero!”

Jemarimu lentik dan gemulai serta mengandung sebuah unsur kesaktian. Mayana tak pernah berada di alam nyatanya tatkala ia membaca satu  persatu rangkaian kalimat Nero. Berguru pada siapakah kau, hai Nero? Kau memang terlalu pandai untuk membuat seorang Mayana dan puluhan perempuan lain menatap penuh rona. Semua itu karena tuturmu!
Mayana menulis diatas kertas, “apakah sebetulnya laki-laki di dunia ini adalah Nero? Atau lebih tepatnya seperti Nero? Mayana di dera rasa tanya tentang sebuah tanya. Benarkah semua laki-laki sanggup menjadi Nero?
Mayana merengut, membiarkan bibirnya mengulum kesal. Nero...Nero...enyah kau  Nero!

Mayana benci.....tapi ia tak sanggup
Mayana ingin mendaratkan tamparan di pipi Nero, tapi ia tak akan pernah bisa.
Ia tak akan pernah bisa menyakiti Nero di alam nyatanya. Ia tak akan pernah mampu untuk sekedar mengeluarkan umpatan kecil. Mayana yakin Nero akan membuatnya kelu dengan pandangan dinginnya. Tanpa permisi langsung menuju sasaran puncak. Sebuah ruang dimana Mayana bermukim dengan asa semunya.

Ia antara ingin dan tidak untuk mengenyahkan Nero dari bumi hatinya. Ia ingin menikam Nero melalui sebuah pertempuran kalimat. Ya, Mayana hanya akan sanggup menikamnya melalui itu. Ia masih punya sisa kewarasan dan tak akan mungkin melakukan “The real  murder” Bodoh sekali pikir Mayana kalau ia sampai melakukan itu. Lagipula, ia bukan seorang penjahat.

***
Ia menatap orang yang yang sekarang berdiri di depannya. Mayana beradu pandang, “apa maksud kau memelototiku seperti itu, hah?!”
Mayana sebalnya bukan main. Sang interogator itu menatapnya lekat-lekat. Sesungguhnya ia merasa prihatin dengan Mayana. Dalam hatinya ia mengatakan bahwa Mayana adalah seorang perempuan yang sedang berada dalam stres tingkat tinggi! Ia merasa iba. Interogator itu melunak namun ia harus tetap menjalankan tugasnya.

Ah, andai saja Mayana tahu bahwa bapak interogator itu memiliki rasa iba untuknya, Mayana akan marah besar. Ia tak pernah suka orang-orang memberikan rasa iba untuknya. Hanya ia yang boleh memberikan rasa iba untuk dirinya sendiri. Hanya Mayana yang boleh mengasihani dirinya sendiri.

Mayana mendesah. “Manusia aneh kau, Nero!!” arggghh...Mayana ingin kembali normal. Ia tak ingin menjadi manusia abnormal. Mayana hilang dan berubah. Kemanakah Mayana yang penuh dengan rasionalitas dan penuh idealisme? “gara-gara kau, Nero!!”

Nero memang sanggup membuat para wanita memacu detak jantung mereka berjalan cepat sekaligus lambat, tersihir oleh setiap kata dan kalimat. Mayana sungguh ingin tahu bagaimana ekspresi wajahnya ketika ia menerima luncuran kalimat kagum dari para wanita itu. Termasuk Mayana. Mungkinkah ia akan tertawa puas dan merasa menang karena ia ternyata begitu pandai dan berbakat?

Rabb...Mayana tak bisa menemukan dirinya sendiri. Mayana membutuhkan sebuah penjelasan logis. Dan ia tak akan pernah menemukan jawaban logis itu. Semuanya irrasional dan Mayana sadar itu. Ia sendiri yang memutuskan untuk jatuh cinta pada mahluk yang memanggil dirinya Nero dan bergentayangan hanya di alam maya.

Nero adalah misteri. Ia sengaja membuat dirinya menjadi sebuah teka-teki yang menarik minat banyak kaum hawa. Dimanakah ia belajar ilmu yang membuat manusia sekaliber Mayana bisa benar-benar dibuatnya “Deeply struck” ?

Benarkah Mayana amat jatuh cinta pada Nero? Atau hanya pada tulisannya kah? Mayana bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan hatinya. Ia tak tahu Nero. Mayana melupakan soal kriteria fisik yang dibuatnya untuk calon pendamping hidupnya. Ia tak tahu bentuk Nero. Ia hanya tahu Nero seorang jenius pencipta kalimat. Dan Mayana tak peduli pada apa pun. Ia hanya peduli pada kata hatinya yang mengatakan bahwa ia memang benar benar mencintai sang pemilik jari ajaib itu.

Mayana memainkan jemarinya. Sang interogator itu masih berdiri di depannya.
“Masih tidak mau juga kau jelaskan perihal kelakuanmu, hai Nona...”

Mayana seperti kepiting rebus sekarang. Ia memerah dan bergumam, “apa kau bilang? Kelakuanku? Memangnya aku berbuat apa?! Enak saja kau bicara!”
Aku atau dia yang bodoh... Mayana bergumam sengit.

“ Aku tak akan pernah mungkin membunuh Nero! Kau dengar itu?!”
Sang interogator tersenyum kecil.. “cobalah untuk mengelak terus, Nona....kau mengatakan padaku kalau kau tak akan sanggup membunuh Nero karena ia berharga untukmu. Tapi sepertinya kau lupa satu hal, Nona...”

Mayana tampak berfikir. “maksudmu?”
“Cinta seringkali membuat orang kehilangan akal sehat, pernahkah kau mendengar sebuah kasus dimana ada seorang perempuan yang begitu mencintai pria nya lantas membunuhnya dengan alasan karena ia begitu mencintanya?...”

Mayana mendengus. “mana ada...asal bicara saja, anda ini...”
Sang interogator itu meneruskan kalimatnya, “perempuan itu mengatakan ia membunuh pria yang dicintainya karena ia tak rela berbagi dengan perempuan lain. Sepertinya pria itu memiliki banyak penggemar wanita dan perempuan itu  hanya ingin pria itu dimilikinya seorang...kecenderungan memiliki yang amat sangat”

“Hah, gila!!.... ia membunuhnya dan itu berarti ia juga tak akan bisa memilikinya. Hah, otak perempuan itu kacau benar” Ucap Mayana

“Secara logika memang seperti itu. Tapi cinta membuatnya tak bisa berfikir jernih. Ya, mungkin perempuan itu memang memiliki gangguan psikologis. Tapi bisa anda lihat, Nona bahwa mencintai bukan berarti tak bisa menyakiti yang dicintainya itu...jadi mungkin saja anda juga seperti itu..”

Mayana disulut emosi. Ia tersinggung benar dengan ucapanya. Ingin ia memaki orang yang ada dihadapannya sekarang, tapi ia bertahan untuk tidak terlihat bodoh. Ia berusaha untuk menang dan tak membiarkan amarah menguasai dirinya.

“Bapak yang terhormat, sungguh ucapan anda barusan telah menyakiti hati saya. Secara tidak langsung anda mengatakan bahwa saya sama dengan perempuan gila itu bukan? Saya turut prihatin dengan pola pikir anda yang terlalu cepat menyimpulkan. Sepertinya anda memiliki banyak sekali masalah yang membuat anda berburuk sangka!!” Mayana ketus.

Sang interogator itu memerah wajahnya. Tapi ia enggan  menanggapi kalimat Mayana. Sementara itu Mayana tersentak dengan ucapannya sendiri. “bicara apa aku tadi?” Mayana merunut lagi apa yang sudah di ucapkannya sedari tadi. “Maafkan aku, Tuhan yang maha Pemurah. Aku tak bisa mengendalikan emosi dan kegalauanku..”

Mayana terbangun dengan kemarahannya sendiri. Ah, cinta..cinta...cinta....hal yang rumit dan penuh rahasia. Mayana ingin menggapai hal itu.

***
Di depan Mayana tergolek sebuah laptop. Sang interogatornya itu yang memberikannya. Sebelumnya Mayana merengek. Lebih tepatnya memaksa untuk di berikan laptop. Ia mengatakan bahwa ia bisa membuktikan bahwa ia sama sekali tak benar-benar membunuh Nero. Ia juga mengatakan bahwa Nero masihlah hidup dan tak ada luka sama sekali di tubuhnya. Setelah perdebatan yang cukup alot, sang interogator terketuk hatinya untuk mengikuti permintaan Mayana.

Mayana mengelus halus tuts keyboard. Ia memainkan jemarinya sebentar. Dan langsung meluncur membuka pintu dunianya bersama Nero. Setelah memasukan kata sandi, ia masuk ke dalam ruang pribadinya. Matanya bertumbu pada satu pesan masuk baru. Ia mengklik dan ada pesan singkat dari Nero! Sepuluh menit yang lalu. Mayana memberi aba-aba agar polisi itu mendekat. Ia menunjuk pesan dari Nero yang baru sepuluh menit yang lalu diterimanya.

“Nggak mungkin kan orang yang sudah wafat bisa mengirim pesan begini?” tutur Mayana
Polisi itu menaikkan alisnya. “Belum tentu, Nona...bisa saja itu orang lain yang memakai akunnya si Nero itu..”

Mayana mendesah. Aku hafal betul gaya tulisan Nero dan itu memang pesan dari Nero. Bukan orang lain seperti yang dikira polisi itu. Untuk sejenak, Mayana tak menghiraukan polisi itu. Seperti biasanya, ia akan begitu serius membaca kata perkata kalimat Nero. Nero menulis beberapa kalimat untuknya,

“Matahari pagi yang menyembul di bukit damai. Warnanya tak ada yang dapat menyaingi dan mewakili. Ia begitu lembut dan bijak. Dalam pagi yang hangat aku menyapamu, gadis....”

Hanya itu yang ditulis Nero. Tapi model secuil kalimat seperti itulah yang membuat Mayana dan perempuan lainnya terseret ke dalam dunia Nero. Mayana sungguh ingin membalas pesan Nero, tapi di urungkannya. Ia tak ingin polisi itu melihat apa yang akan di tulis Mayana untuk Nero. “mengapa harus ada kau, Nero dalam cerita hidupku” ucap Mayana dalam hati.

Mayana ada dalam diam sekarang. Ia sedang merenungi apa yang sudah terjadi. Ia mengetuk ngetukkan jemarinya. Tiba tiba dia muncul dari ruang chat!
“hai, gadis...apa kabarmu?”
Mayana memicingkan mata. Nero!

Mayana memerintahkan sang polisi itu untuk mendekat. Ia ingin melihat bahwa Nero mengajaknya chat dan sudah tentu itu akan membuktikan bahwa Nero masihlah hidup dan ia tak benar benar membunuh Nero.

“Kau peduli kabarku, Nero?” tulis Mayana
“Sang mawar berduri namun memiliki kelopak indah sedang sedikit ketus rupanya. Kau ragu, hai gadis?”
“Aku meragukan ketulusanmu menghawatirkan aku. Kau penggombal ulung...”
“Haha...terimakasih atas sanjungannya Nona manis....tapi sungguh, aku tak ingin kau meragukanku..
“Jaminan apa yang akan kau berikan agar aku percaya?”

Nero disudut sana tampak merenung. Mayana tak tahu kalau batinnya sedang meronta. Ia memang pernah menjadi penjahat, sebagai pembuktian bahwa ia adalah seorang laki-laki. Tapi bukankah itu cerita lalu? Ritme jantungnya menghentak. Ada selaput tipis yang membayangi hati Nero. Menyelimutinya denga sebuah alur dan rasa. Ia sadar itu dan ia hafal betul apa itu.

“Aku tak bisa memberimu jaminan apa-apa..” ucap Nero singkat.
“Sudah aku duga...” jawab Mayana dengan singkat pula. Mayana berdialog dengan hatinya sendiri. Ia tak boleh percaya pada Nero. Ia sudah merasa bodoh dan ia tak mau lagi menjadi bodoh. Mungkin Nero sedang terbahak di ujung sana, menertawai dirinya yang sudah berhasil menjadi daftar korbannya di dunia maya. Mayana merasa Nero sudah memasukannya ke dalam sebuah ruang dimana ia tak bisa mengeluarkan emosinya secara utuh.

“Mayana...Mayana....” Nero kembali membuka percakapan.
“Kau sudah tahu namaku memang Mayana. Tak perlu kau ulang-ulang begitu..” Mayana sengit

“Aku hanya ingin menyimpan nama itu dalam sebuah kotak ajaib dalam otakku...”
“Bicara apa kau ini, Nero...”

Nero tak langsung mengetik jawaban dari pertanyaan Mayana. Ia bergumam sendiri dan hanya ia yang bisa mendengar kata-katanya. Ia ingin menyimpan sebuah nama yang penuh rona itu dalam sebuah kotak ajaib yang ia sebut sebagai “Kotak Mimpi”

Nero memutuskan menamainya dengan Kotak Mimpi karena baginya Mayana hanyalah sebuah asa yang tak mugkin ia gapai. Perempuan itu ia rasa terlalu indah untuknya. Entah mengapa kali ini ketika ia berhadapan dengan seorang gadis yang bernama Mayana ia tak bisa menunjukkan sisi beraninya seperti ketika ia berhadapan dengan perempuan lain. Di hadapan Mayana ia tak bisa merasa puas dan percaya dengan dirinya sendiri. Mayana terlalu istimewa untuk laki-laki seperti dirinya. Ia mengatakan kalau ia tak akan pernah mencapai kata sepadan berdampingan dengan gadis itu.

Mayana hanyalah sebuah mimpi.
Sementara itu Mayana dalam diamnya bergumam tentang apa yang disebutnya sebagai sebuah Maya. Ia meyakini bahwa Nero adalah sebuah Maya. Ia merasa tak mungkin bisa bersama Nero. Entah mengapa ia kali ini bisa pesimistis seperti itu. Ia merasa Nero terlalu jauh dari jangkauannya. Ia tak hanya akan menjadi miliknya, tapi juga menjadi milik perempuan lain. Ia bukan tipe orang yang suka membagi cintanya dengan perempuan lain.

Sementara Nero? Justru ia tipe laki-laki yang senang membagi rasa dengan banyak perempuan. Luncuran kalimat manis penuh magic tak hanya ia umbar untuk Mayana, tapi juga untuk beratus, beribu bahkan mungkin berjuta perempuan.

Mayana dan Nero makin menjauh. Mereka sedang berkutat dengan persepsinya masing-masing yang mereka ciptakan berdasarkan alam hayal dan pemikiran mereka yang memaksa.

Dua manusia itu rupanya sedang menciptakan jalan cerita cinta mereka masing-masing. Lupakah mereka bahwa ada yang lebih pintar menciptakan sebuah cerita yang sangat mungkin terjadi dan itu semua di luar jangkauan pemikiran mereka!

Ah, tak ada yang tak mungkin di dunia ini jika DIA, Rabb sang pemilik hati ini sudah berkehendak. Persepsi mereka akan terpatahkan oleh sesuatu yang bernama takdir. Mereka tak bisa lagi mengatakan bahwa Nero begini dan Mayana begitu dan mereka pastilah akan begini dan begitu jika saja Rabb mereka menghendaki mereka berjalan bersama dalam sebuah kondisi yang penuh restu.

Nero dan Mayana ada dalam diamnya masing-masing.
Polisi yang sedari tadi memperhatikan Mayana dan tulisannya di ruang chat mengedikkan bahu. Ia keheranan kaarena dialog Mayana dan orang yang disebutnya Nero itu sungguh terlihat aneh baginya.

“Nona, sejak tadi kuperhatikan isi chat mu, sebenarnya apa yang sedang anda berdua bicarakan? Obrolan yang aneh..”

Mayana tersenyum tipis mendengar kalimat polisi itu.
“Tentu saja dia tak mengerti apa yang kami bicarakan karena bahasa kami berdua memang absurd..” Mayana terkekeh dalam hati. Ia membiarkan saja polisi itu dalam rasa penasarannya.
“Kau masih disitu, May?” Nero kembali setelah ia berada dalam diamnya.
“Aku tak pernah beranjak dari tempatku. Bahkan aku memang tak bisa beranjak. Kau mungkin yang sudah pergi atau memang sebaiknya kau yang memang harus pergi?”

Nero tersenyum simpul. Ia tahu Mayana tak benar benar menyuruhnya pergi. Ia tahu bahwa Mayana tak pernah menginginkannya untuk pergi. Ia tahu apa yang dirasa perempuan itu.

“Ah....” hanya itu yang ditulis Nero
Dan sesaat kemudian Nero menghilang dari ruang chat. Mayana mencoba membuka matanya lebar-lebar dan ia tak menemukan  lagi Nero. Ia pergi. Benar-benar pergi seperti yang diperintahkan Mayana. Ia limbung. Ia tak tentu rasa. Bukan...bukan maksudunya seperti itu. ia tak benar-benar mengusir Nero. Mungkin ia tidak sadar dengan apa yang ditulisnya tadi.

Kerongkongan Mayana serasa tercekat. Ia memang ingin Nero pergi tapi ia tak ingin. Ia tak sanggup Nero pergi. Ia membenci Nero tapi sesungguhnya tak pernah bisa. Dan sekarang karena kalimat Mayana, Nero benar-benar pergi!

Satu sisi Mayana berkata, “Ah, sudahlah May. Tak perlu kau risaukan Nero menghilang. Mungkin ini memang saatnya kau tak melihatnya lagi. Ini saatnya kau keluar dari keabnormalanmu....”

Satu sisi Mayana yang lain berkata, “ Kau sungguh ceroboh May. Kau ini tukang bohong. Kau tak pernah mau mengakui apa yang kau inginkan dan kau rasakan. Kau sudah kehilangan Nero dan kau hanya akan bisa mengatakan...kita baru akan merasa kehilangan kalau kita sudah benar-benar kehilangan...”

Mayana pasrah. Ia tak bisa mengenali dirinya sendiri. Mungkin ia harus benar-benar menyerahkan segala aspek kehidupannya pada-NYA. Ia memang bodoh dan tak tahu apapun. Ia mungkin akan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan mahluk yang bernama Nero. Biarlah DIA yang mengatur urusannya. Lidah Mayana kelu.

“Sial!” kata Nero. Laptopnya tiba-tiba saja mati. Nero belum sempat melanjutkan chatnya bersama Mayana. Ia hanya sempat menulis kata “Ah...” ya, laptopnya memang sering mati sendiri. Mungkin memang sudah seharusnya begitu sebagai ganjaran karena ia sering menempelkan jari jemarinya di tuts keyboard menulis kalimat kalimat gombal yang membuat banyak wanita tertegun.
“Kau pasti berpikir aku benar-benar pergi karena ucapanmu....ketahuilah, May....aku tak akan benar-benar pegi darimu...

***
“Dia benar-benar pergi..” ucap Mayana pada polisi itu
“Maksudmu, Nona?”
Mayana hanya diam dan polisi itu sedang berusaha mencerna kalimat Mayana. “Jangan jangan maksud kalimat Mayana itu untuk mengatakan bahwa pria yang dipanggilnya Nero itu memang sudah mati..kiasan kata pergi itu sebenarnya untuk menyebut mati....” polisi itu hanya menebak saja.

Mayana menopang dagunya. Ia mendesah.



================================================================
Bagi yang belum 'ngeh' dengan alur dan tokoh dalam cerita di atas, yuks disimak :)
Nero dan Mayana adalah tokoh sentral dalam sebuah novel berjudul "Mayasmara" karya Dian Nafi. Sang penulis kemudian mengadakan sayembara menulis novelet dengan menggunakan kedua tokoh tersebut. Mengembangkan cerita dari tokoh tersebut versi kita sendiri.



Dan tulisanku di atas, masuk dalam seleksi dan ikut dibukukan dalam kumpulan cerita yang di beri judul "Mayaseries". Yang belum baca  novel "Mayasmara karya Dian Nafi, bisa berburu bukunya ya ^^ dan bagi yang ingin membaca buku "mayaseries" bisa hubungi penerbit Hasfa via Fb.

                        

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^