Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Bumi Pasundan-Tanah Rencong

            Semua yang saya jalani sekarang  layaknya sebuah mimpi. Ketika memandang keluar jendela rumah, melihat deretan atap rumah para prajurit menambah semuanya makin terasa seperti dalam cerita ketika tidur.

Saya tidak bisa menemukan letak rumah ibu yang asri dengan deretan pepohonan rimbun yang rajin di tanam beliau. Pun raut wajah orang-orang terkasih tidak bisa saya jumpai setiap detik layaknya dahulu. Ya, semua itu karena saya sudah tidak tinggal lagi bersama mereka.

Entah tepatnya berapa ribu kilometer jauhnya. Kini, saya ada di ujung barat nusantara. Tempat yang dulu hanya saya tahu dari peta saat pelajaran geografi. Seperti hal yang ajaib saya bisa ada disini. Pernah bermimpi pun tidak dan justru sekarang ini saya baru merasa seperti bermimpi.

Sejak lahir dan usia saya dua puluh enam tahun, saya tidak pernah jauh dari rumah. Saya amat mencintai kampung halaman dan tanah leluhur. Bumi parahyangan adalah tempat istimewa untuk saya. Mungkin karena belum pernah keluar terlalu jauh, jadilah tanah kelahiran menjadi tempat yang paling nyaman.

Namun akhir tahun 2013, tepatnya bulan November, saya harus meninggalkan rumah dan orang-orang tercinta. Bukan sebuah perpisahan yang menyedihkan sebetulnya. Tapi bagi saya yang kali pertama akan merantau, hal itu terasa sedikit berat.

Hidup saya sampai pada sebuah pernikahan. Dan kini saya memiliki tanggung jawab sebagai seorang istri. Mendampingi suami dimanapun ia berada. Dan hal itulah yang membuat saya sekarang ada disini.

Ada saat dimana kita harus berpisah dengan orang tua dan adik. Masa dimana kita menjalani kehidupan kita sendiri secara mandiri. Dan kini, bumi Aceh tepatnya kota Lhokseumawe menjadi tempat tinggal saya dan suami. Rasanya aneh ketika tiba disini. Ada sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah saya akan menjalani kehidupan disini tanpa ada keluarga. Hanya berdua dengan suami. Tanpa ada saudara ataupun kerabat.

Tetapi berbekal keyakinan bahwa setiap sudut bumi ini adalah milik Allah SWT, saya mencoba menjalani semuanya dengan santai. Saya berkata pada diri sendiri bahwa hal ini adalah hal baru yang menyenangkan. Anggaplah sebagai sebuah pengalaman  hidup yang mungkin tidak setiap orang bisa mengalaminya. Mendapatkan kesempatan merantau, bertemu dengan orang-orang baru dan suasana yang jauh berbeda budaya, adat istiadat dan karakter orang yang beragam.

Dan tak terasa kini, saya sudah satu tahun lebih disini. Alhamdulillah saya merasakan hidup yang penuh dengan keberkahan. Setiap pagi saat mencium tangan suami dan mengantarkannya ke muka pintu untuk menjemput rezeki, saya merasa damai. Di tempat yang jauh dari rumah, saya memiliki seorang suami yang baik. Ia menjadi sosok yang bijaksana layaknya orang tua sekaligus menjadi sahabat terbaik setelah mama yang pernah saya miliki. Orang yang selalu menyediakan bahunya saat saya merasa gundah, orang yang selalu mengelus punggung saat merasa rindu pada ibu.

Entah sampai kapan kami akan tinggal disini. Meskipun terasa menyenangkan, kami tetap menyimpan kerinduan untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga. Jarak yang jauh tidak memungkinkan kami untuk bisa sering pulang. Sebaik apa pun di tanah rantau, hati akan selalu memanggil untuk pulang dan dekat bersama keluarga. Ada orang tua yang selalu berharap kami dekat. Dan begitupun kami merasakan hal yang sama. Tapi kami masih harus bersabar untuk bisa pulang. Ada hari yang masih harus kami jalani disini sambil menunggu kesempatan untuk bisa kembali ke tanah kelahiran.

Tanah rencong adalah rumah kami sekarang dan bumi parahyangan  tetap menjadi tanah leleuhur yang kami cintai. Suatu saat kami akan kembali untuk menetap. Menjalani kehidupan istimewa dikelilingi orang-orang yang kami cintai.


Lhokseumawe, 5 Desember 2014

                                      Waduk kota lhokseumawe, Aceh utara

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^