Pagi yang hangat. Setidaknya itulah yang aku rasakan hari
ini. Sinar matahari yang begitu lembut dan hangat, membuatku tak henti-hentinya
menghirup dalam udara sekitar. Aku begitu suka suasana seperti ini meskipun aku
juga menikmati di saat hujan turun di sertai bunyi petir menggelegar. Bagiku
bunyi petir begitu khas. Tanpa aku tahu bagaimana rupa petir yang sebenarnya.
Tapi lebih dari itu, aku tetap mencintai suasana hangat seperti ini. Ditemani
tiupan angin yang begitu ramah, cicit burung yang selalu terdengar ceria di
tambah dengan aroma bunga yang selalu membuatku tenang.
Aku merentangkan tanganku lebar-lebar. Setiap pagi
kecuali hujan turun, aku selalu ada di taman ini. Bersama ayah yang begitu
baik. Tak pernah bosan di mulai ketika udara pagi masih bertiup lembut hingga
matahari tepat berada di atas kepala, aku akan menghabiskan waktuku disini.
Milkshake dan brownies kukus turut serta dalam kantong bekalku.
Ibu selalu membuatkan brownies yang rasanya amat lezat
buatku. Sungguh berbeda dengan buatan koko Kue yang ada disini. Berbeda karena ibu membuatkan kue itu selalu dengan penuh senyum, mata yang berbinar dam
melumurinya dengan cinta dan kasihnya yang tulus.
Tapi sekarang tak ada lagi brownies buatan ibu. Mbak Mar,
orang yang sudah lama menjadi bagian dari keluargaku yang sekarang bertugas
menggantikan tugas ibu membuat bekal makanku.
Aku rindu ibu. Semoga kau mendapat tempat di sisi-Nya. Doaku menyertaimu, Ibu. Aku menghirup udara dalam-dalam kemudian menghempaskannya. Ada satu bab khusus yang aku
tulis tentangmu dan rasanya tak pernah cukup ruang dan waktu untuk selalu
mengenangmu. Manusia terkasih.
***
Ku rasakan tangan ayah menyentuh pundakku. Aku tahu ia melakukannya sambil tersenyum manis. Senyum manis yang hanya bisa aku lihat
dari sudut imaj. Aku mendengar ayah berkata, “Pagi yang hangat bukan, Ra?”
Aku tersenyum. “Tentu saja, Yah… Ra selalu suka suasana
seperti ini. Ayah juga suka sekali kan?”
Kembali ayah menepuk pundakku.
“Tak ada satupun nikmat-Nya
yang bisa kita ingkari dan kita dustakan. Nikmat yang begitu besar…”
Ayah selalu duduk di sampingku. Jemarinya mulai memilih
satu persatu huruf yang ada di laptop. Aku mulai
bertutur dan ayah akan mendengarkan setiap kalimat yang aku ucapkan. Ayah
mengerti betul harus menuliskannya dengan indah tanpa mengurangi setiap kata
yang aku ucapkan.
Sesekali Ia bergumam sambil mungkin mengerutkan dahi
bertanya padaku jika ada kalimatku yang kurang dimengertinya.
Aku sedang menulis sebuah buku dan aku menulis tentang
orang -orang terkasihku. Aku tersenyum karena aku sudah sampai pada bagian
dimana aku akan bercerita tentang ayahku. Seringkali beliau terkikik geli dan berkata, “Tidakkah
berlebihan, Ra menggambarkan ayah terlalu seperti ini?”
Aku hanya menggelengkan
kepalaku, tersenyum dan mencoba mengelus pipinya yang mulai ditebari
guratan keriput. Aku beruntung memilikimu, Ayah. Ingin rasanya aku menuliskan
tuturku sendiri, tapi sungguh aku tak sanggup. Haruskah aku meratapi ini? Tapi
sepertinya tak ada alasan bagiku untuk
berkawan dengan “Si putus asa” dan “Si aengeng” Aku percaya pada-Mu. Seperti yang selalu ayah
ingatkan padaku, “Akan ada saatnya kita memperoleh sesuatu yang kita minta atas
seizin-Nya. Tuhan Maha Tahu, Ra….”
***
Aku suka orang-orang memanggilku dengan dua huruf
belakang namaku. “RA” Tak bisa aku jelaskan alasannya. Tapi ketika mereka
memanggilku dengan sebutan ini, aku merasa lebih hangat dan dekat. Aku ingin
menjadi manusia sederhana yang tak banyak menuntut. Sesederhana panggilanku
yang hanya dua huruf.
Hari ini, tak ada suasana hangat seperti pagi biasanya.
Matahari sedang cuti dan titik hujanlah yang kali ini tunduk pada perintah-Nya untuk membasuh bumi ini.
Bunyi petir mulai berdentum. Gemuruhnya terdengar
amat khas. Aku mendekap kedua tanganku.
“Apakah cukup indah rupa petir yang aku dengar sekarang, Yah? Gaungnya begitu keras
ya?” Tanyaku pada ayah yang duduk di sampingku sambil menikmati kopi
tubruknya. Aromanya tercium olehku.
“Rupa petir…”
Aku masih menunggu jawaban dari ayah yang terdiam
sejenak. Mungkin beliau masih memilih kata-kata yang tepat untuk
menggambarkannya.
“Kalau kau
memandang langit di saat hitam pekat seperti ini, rupa petir terlihat seperi
coretan grafika yang bercahaya…”
“Seperti itu kah?”
Tanyaku dalam hati “Aku akan mencoba melihatnya, Yah..”
“Tapi, Ra coretan grafika itu terjadi begitu cepat. Kau
tak bisa memandanginya dengan waktu yang lama…”
Aku tersenyum. Ayahku sayang, aku akan selalu bisa melihat coretan
bercahaya itu dalam kantong imajiku dan dengan waktu yang tidak terbatas. Aku
hanya perlu membayangkannya.
***
Aku kembali duduk di taman ini, setelah beberapa hari
kemarin aku mengalah pada hujan membiarkan diriku hanya bisa duduk di rumah.
Hari ini kuraskan begitu bersemangat. Mulai dari cicit
burung yang bersenandung lebih ceria dari biasanya, aroma bunga yang lebih
kuat, juga tiupan angin yang lebih hangat.
Hidungku mengendus. “Apakah ayah merasakannya juga? Sepertinya aroma
bunga di taman ini lebih kuat dari biasanya….
“Pintar sekali anak ayah..” Beliau menjawil pipiku. “Kau
tahu, Ra pagi ini bunga yang bermekaran lebih banyak dari hari kemarin.
Hatiku berbinar. Seketika aku bayangkan bunga-bunga yang
bermekaran dengan ceria. Semuanya ada dalam kepalaku. Ya, aku bisa melihatnya.
***
Kalaulah ada manusia yang sedang merindu, bisa jadi aku
ini adalah manusia yang paling merindu. Kerinduan itu datang lagi. Bahkan
mungkin setiap saat. Kerinduan yang sering membuncah dan memenuhi rongga
dadaku. Kerinduan menikmati bentuk dan rupa semesta alam dengan mata yang sebenarnya. Tidak
melalui mata imajiku. Aku rindu memastikan bagaimana rupa ibu dan ayahku, rupa
hujan, matahari, petir, bangku taman, burung,semua hal yang aku suka.
Adakah waktu dan kesempatan untukku melihat semua itu?
Aku menghirup udara dalam-dalam. Ah, nikmat menghirup udara
masih membuatku harus bersyukur karena aku masih bernafas dan “Melihat”. Sungguh Engkau Maha Pemurah dan Maha Pemberi
Nikmat.
***
Aku merasakan sesuatu yang asing di taman ini. Aku merasakan
kehadiran manusia lain selain aku dan ayah.
Suara berat yang
meluncur dari bibir mungil seorang pemuda bertubuh tegap membuat beberapa
burung pipit kaget.
“Kau senang
mengunjungi taman ini?” Pemuda itu mengawali pembicaraannya.
Ra sedikit kikuk, mencengkeram tangan ayah yang duduk di
sampingnya. Ayah memegang lembut lengannya memberi tanda bahwa orang asing itu
tidaklah menyeramkan.
Ra sedikit lebih tenang. Ia mulai menjawab, “Tentu…aku
mencintai taman ini..”
Ra mulai menggambarkan sosok asing itu. Ia tersenyum
geli. Hanya ia yang tahu bagaimana membentuk rupa orang asing itu. Mulai dari
wajah, hidung, mata hingga postur tubuh.
Pemuda itu sedikit melengkungkan bibirnya.
“Apa yang membuatmu jatuh cinta pada taman ini? Tanyanya.
Ra tersenyum sejenak….”Aku pikir taman ini begitu indah.
Tempat yang membuatku bisa merasakan semilir angin yang membawa satu harapan.
Tempat para bunga memercikan harumnya keindahan. Tempat dimana aku bisa
melihat banyak hal….”
Dan Ra meneruskan kalimatnya dalam hati.
“Taman ini begitu indah. Tapi Tuhan
akan memberikan taman yang jauh lebih indah daripada ini pada mereka yang
taat pada-Nya dan
aku ingin mendapat tempat di taman itu.”
Setiap kalimat yang di ucapkan gadis itu selalu mampu
membuatku terpukau. Gadis itu
Aura. Bibirnya selalu melengkung, tersenyum manis. Sikapnya penuh dengan
keceriaan. Ia selalu merentangkan tangannya menggapai harap. Jauh dari putus
asa. Keyakinannya yang begitu kokoh, cara dia memandang sesuatu, begitu indah.
Aku, Adam. Si orang asing di taman itu hanyalah manusia
yang tak tahu diri. Sungguh aku merasa tak punya muka bila bertemu dengannya.
Membuat kesombongan yang ada padaku hilang. Aku adalah manusia yang selalu
menginginkan kesempurnaan dalam hidup. Aku tak pernah mau menemukan satu kekurangan dalam hidup dan
duniaku. Aku selalu menggunakan posisiku untuk membuat orang-orang di sekitarku
tunduk dan selalu berkata, “YA” Aku tak pernah suka dibantah dan aku yang
menentukan duniaku sendiri. Aku menyebut diriku manusia angkuh.
Aku tak pernah berpikir bahwa aku akan terlempar dari
duniaku yang sempurna dan merasa menjadi manusia paling dungu. Tadinya aku
berpikir, aku adalah manusia
yang akan terus hidup dalam kesempurnaan.
Memoriku berputar…..
Satu persatu runtuh . Timbunan hartaku lenyap, ragaku menjadi budak bubuk neraka dan sepasang kaki yang
menyokong ragaku berdiri tegak sambil membusungkan dada memandang remeh kini
mentertawakanku. Telunjuk
saktiku pun tak ada gunanya lagi. Mereka tak mau menemani manusia sepertiku
lagi.
Dari gadis istimewa
itulah aku terbangun. Ia selalu berkata, “Tuhan
tak akan pernah meninggalkanmu jika kau meminta pertolongan hanya pada-Nya dan kembali menginat-Nya"
Kesalahanku sunnguh tak terhitung. Ingin rasanya aku
menjadi debu dan ditabur
di lautan. Aku ingin lari dari ketidaksempurnaan hidupku sekarang dan berharap tak ada yang bisa menemukanku.
Dengan begitu, selesailah semua urusanku.
Aku benar-benar tak sanggup.
Di taman itu ketika aku sudah setengah gila, aku bertemu
Ra. Gadis manis dengan
sepasang mata yang luar biasa memberiku
suntikan semangat hidup. Membuatku memandang seperti caranya memandang. Aku tak
pernah menceritakan kisah hidupku padanya, tapi aku merasakan ia tahu semuanya.
Dan setiap kalimat yang diucapkannya selalu menyentuh bahkan dari caranya
tersenyum, gerak tangannya, cara ia
bertutur dan tertawa, membuatku sadar aku terlalu cengeng dan tak tahu
berterima kasih.
“Tuhan itu Maha Pemaaf. Tak ada yang bisa mengukur kedalaman
kasih-Nya dan kau tahu kak? Tuhan akan
selalu menerima hamba yang percaya dan kembali pada-Nya untuk memperbaiki kesalahan.”
Kalimat yang di ucapkan Ra begitu melekat dan membuatku
berfiikir…
Benarkah? Jauhkan rasa ragu dariku Tuhan…
***
Aku telah menuliskan
namamu di dalam hatiku
Memantulkan wajahmu
dalam cermin jiwaku
Menampilkanmu dalam
galeri mataku
Ini menunjukkan betapa
aku mencintai dan menyangimu,
Ibuku,Ibuku, Ibuku,
dan Ayahku
Ibu dan ayahku, dua orang terkasih dalam hidupku. Kutahu
kalian pernah menitikkan air mata untukku. Kutahu kalian begitu mengasihiku.
Memohonkan kesempurnaan dalam hidupku. Mencoba mengambil sejumput harap untukku bisa berjalan tegak dan memandang dunia
dengan mata berbinar.
Ibu dan ayahku sayang……
Sungguh aku telah mendapatkan itu dalam hidupku. Untaian
doa kalian telah bisa membuatku melihat dengan sepasang mata yang begitu indah
dan lebih berbinar dari mata manusia lainnya. Membuatku bisa berdiri dengan
tongkat keyakinan dan semangat.
Sungguh aku beruntung memiliki kalian. Aku tak akan
pernah meratap sendu berputus asa.
Mengingat senyummu, Ibu. Senyum yang hanya aku lihat dari
alam imajiku membuatku selalu ingin tersenyum. Senyumm, Ibu mengajariku makna
ketulusan dan keikhlasan.
Mengingat halus dan lembutnya sentuhan kasihmu, Ayah membuatku harus mengucap syukur. Aku tak pernah merasa sendiri dan tak boleh
merasa sendiri. Ingatkah kata-kata yang kau ucapkan itu?
Aku ingin menjadi matahari kalian. Aku ingin menjadi
cahaya yang tak pernah meredup. Tapi kutahu tak kan ada yang kekal di sini dan
tak kan pernah ada kesempurnaan di sini. Semua adalah milik-Nya.
Tapi izinkanlah untukku sekejap menjadi bagian penyempurna hidup ibu dan ayah.
Aku sungguh bahagia dan aku ingin mencapai kebahagiaan
yang lebih besar dari ini. Doaku tak bertepi untukmu, Ibu dan ayah. Aku selalu menyayangi kalian.
Aku tak mampu meneruskan membaca tutur Ra dalam lembar
bukunya. Ayah begitu
tegar meskipun ku tahu ia
terluka. Impian Ra menjadi seorang penulis kini terkabul. Aku menggengggam
sebuah buku yang berjudul “Sehangat Pagi” yang berisi semua cerita yang ingin ia bagi dengan orang-orang yang begitu ia cintai.
Membaca bagian penutup bukunya menbuatku merasa ia tetap
ada di sini, tersenyum dengan tulus. Aku selalu ingat caranya merentangkan
tangan lebar-lebar menghirup udara taman, caranya memandang hidup melalui
sepasang mata yang indah, yaitu mata hati dan caranya bertutur memuji, mensyukuri
nikmat meskipun
ia hidup dalam ketidaksempurnaan. Ia tidak bisa melihat karena dua bola matanya tumbuh tak sempurna dan
ia tak pernah bisa melihat rupa orang-orang terkasihnya, bulan, bintang,
matahari, semua hal yang di sukainya. Orang-orang bisa saja menyebut ia hidup
dalam gelap. Tapi sesungguhnya ia hidup dalam terang.
***
Aku kembali ke taman itu. Tapi kali ini tak akan ada lagi
gadis periang bernama Aura. Aku
selalu merindukanmu, Ra. Aku rindu celoteh cerdasmu tentang hidup. Aku rindu
mendengar tuturmu memberiku semangat untuk bisa kembali berjalan menggunakan
tongkat kerendahan hati dan ketegaran.
Aku rindu melihat senyum bulan sabitmu.
Ayah menggenggam pundakku. Matanya menatapku. Ia tak
banyak bicara dan ia hanya membisikan pelan sebuah kalimat, “Jangan bersedih
dan meratap”. Suatu saat nanti aku, ayahmu, bahkan semua yang ada di sini akan
kembali. Hanya saja kau mendahului kami terlampau cepat" Matahari tetap
bersinar. Angin bertiup sendu. Dan aku meninggalkan taman ini bersama ayahmu
dengan perasaan yang aneh. Kami mencoba tersenyum. Aku memutar kursi roda.
Sekali lagi memandang taman dimana aku bertemu gadis manis penuh semangat
hidup.
Aku akan selalu mengingatmu Ra. Mengingat pagi
yang begitu hangat. Selalu...Cerpen ini tergabung dalam antologi diatas :) diterbitkan oleh penerbit Soega
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menulis selalu menjadi obat mujarab untukku. Saat raga lelah dan pikiran seolah tak berada di tempat, menulis memberi suntikan dan nutrisi tersendiri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^