Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Ra, sehangat pagi



Pagi yang hangat. Setidaknya itulah yang aku rasakan hari ini. Sinar matahari yang begitu lembut dan hangat, membuatku tak henti-hentinya menghirup dalam udara sekitar. Aku begitu suka suasana seperti ini meskipun aku juga menikmati di saat hujan turun di sertai bunyi petir menggelegar. Bagiku bunyi petir begitu khas. Tanpa aku tahu bagaimana rupa petir yang sebenarnya. Tapi lebih dari itu, aku tetap mencintai suasana hangat seperti ini. Ditemani tiupan angin yang begitu ramah, cicit burung yang selalu terdengar ceria di tambah dengan aroma bunga yang selalu membuatku tenang.
Aku merentangkan tanganku lebar-lebar. Setiap pagi kecuali hujan turun, aku selalu ada di taman ini. Bersama ayah yang begitu baik. Tak pernah bosan di mulai ketika udara pagi masih bertiup lembut hingga matahari tepat berada di atas kepala, aku akan menghabiskan waktuku disini. Milkshake dan brownies kukus turut serta dalam kantong bekalku.
Ah, aku jadi ingat ibu…
Ibu selalu membuatkan brownies yang rasanya amat lezat buatku. Sungguh berbeda dengan buatan koko Kue yang ada disini. Berbeda karena ibu membuatkan kue itu selalu dengan penuh senyum, mata yang berbinar dam melumurinya dengan cinta dan kasihnya yang tulus.
Tapi sekarang tak ada lagi brownies buatan ibu. Mbak Mar, orang yang sudah lama menjadi bagian dari keluargaku yang sekarang bertugas menggantikan tugas ibu membuat bekal makanku.
Aku rindu ibu. Semoga kau mendapat tempat di sisi-Nya. Doaku menyertaimu, Ibu. Aku menghirup udara dalam-dalam kemudian menghempaskannya. Ada satu bab khusus yang aku tulis tentangmu dan rasanya tak pernah cukup ruang dan waktu untuk selalu mengenangmu. Manusia terkasih.

***
Ku rasakan tangan ayah menyentuh pundakku. Aku tahu ia melakukannya sambil tersenyum manis. Senyum manis yang hanya bisa aku lihat dari sudut imaj. Aku mendengar ayah berkata, “Pagi yang hangat bukan, Ra?”
Aku tersenyum. “Tentu saja, Yah… Ra selalu suka suasana seperti ini. Ayah juga suka sekali kan?”
Kembali ayah menepuk pundakku.
“Tak ada satupun nikmat-Nya yang bisa kita ingkari dan kita dustakan. Nikmat yang begitu besar…”
Ayah selalu duduk di sampingku. Jemarinya mulai memilih satu persatu huruf yang ada di laptop. Aku mulai bertutur dan ayah akan mendengarkan setiap kalimat yang aku ucapkan. Ayah mengerti betul harus menuliskannya dengan indah tanpa mengurangi setiap kata yang aku ucapkan.
Sesekali Ia bergumam sambil mungkin mengerutkan dahi bertanya padaku jika ada kalimatku yang kurang dimengertinya.
Aku sedang menulis sebuah buku dan aku menulis tentang orang -orang terkasihku. Aku tersenyum karena aku sudah sampai pada bagian dimana aku akan bercerita tentang ayahku. Seringkali beliau terkikik geli dan berkata, “Tidakkah berlebihan, Ra menggambarkan ayah terlalu seperti ini?
Aku hanya menggelengkan  kepalaku, tersenyum dan mencoba mengelus pipinya yang mulai ditebari guratan keriput. Aku beruntung memilikimu, Ayah. Ingin rasanya aku menuliskan tuturku sendiri, tapi sungguh aku tak sanggup. Haruskah aku meratapi ini? Tapi sepertinya tak ada  alasan bagiku untuk berkawan dengan “Si putus asa” dan “Si aengeng” Aku percaya pada-Mu. Seperti yang selalu ayah ingatkan padaku, “Akan ada saatnya kita memperoleh sesuatu yang kita minta atas seizin-Nya. Tuhan Maha Tahu, Ra….”

***
Aku suka orang-orang memanggilku dengan dua huruf belakang namaku. “RA” Tak bisa aku jelaskan alasannya. Tapi ketika mereka memanggilku dengan sebutan ini, aku merasa lebih hangat dan dekat. Aku ingin menjadi manusia sederhana yang tak banyak menuntut. Sesederhana panggilanku yang hanya dua huruf.
Hari ini, tak ada suasana hangat seperti pagi biasanya. Matahari sedang cuti dan titik hujanlah yang kali ini tunduk pada perintah-Nya untuk membasuh bumi ini.
Bunyi petir mulai berdentum. Gemuruhnya terdengar amat khas. Aku mendekap kedua tanganku.
“Apakah cukup indah rupa petir yang aku dengar sekarang, Yah? Gaungnya begitu keras ya?” Tanyaku pada ayah yang duduk di sampingku sambil menikmati kopi tubruknya. Aromanya tercium olehku.
“Rupa petir…” 
Aku masih menunggu jawaban dari ayah yang terdiam sejenak. Mungkin beliau masih memilih kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya.
“Kalau  kau memandang langit di saat hitam pekat seperti ini, rupa petir terlihat seperi coretan grafika yang bercahaya…”
“Seperti itu kah?”  Tanyaku dalam hati “Aku akan mencoba melihatnya, Yah..”
“Tapi, Ra coretan grafika itu terjadi begitu cepat. Kau tak bisa memandanginya dengan waktu yang lama…”
Aku tersenyum. Ayahku sayang, aku akan selalu bisa melihat coretan bercahaya itu dalam kantong imajiku dan dengan waktu yang tidak terbatas. Aku hanya perlu membayangkannya.

***
Aku kembali duduk di taman ini, setelah beberapa hari kemarin aku mengalah pada hujan membiarkan diriku hanya bisa duduk di rumah.
Hari ini kuraskan begitu bersemangat. Mulai dari cicit burung yang bersenandung lebih ceria dari biasanya, aroma bunga yang lebih kuat, juga tiupan angin yang lebih hangat.
Hidungku mengendus. “Apakah ayah merasakannya juga? Sepertinya aroma bunga di taman ini lebih kuat dari biasanya….
“Pintar sekali anak ayah..” Beliau menjawil pipiku. “Kau tahu, Ra pagi ini bunga yang bermekaran lebih banyak dari hari kemarin.
Hatiku berbinar. Seketika aku bayangkan bunga-bunga yang bermekaran dengan ceria. Semuanya ada dalam kepalaku. Ya, aku bisa melihatnya.

***
Kalaulah ada manusia yang sedang merindu, bisa jadi aku ini adalah manusia yang paling merindu. Kerinduan itu datang lagi. Bahkan mungkin setiap saat. Kerinduan yang sering membuncah dan memenuhi rongga dadaku. Kerinduan menikmati bentuk dan rupa semesta alam dengan mata yang sebenarnya. Tidak melalui mata imajiku. Aku rindu memastikan bagaimana rupa ibu dan ayahku, rupa hujan, matahari, petir, bangku taman, burung,semua hal yang aku suka.
Adakah waktu dan kesempatan untukku melihat semua itu?
Aku menghirup udara dalam-dalam. Ah, nikmat menghirup udara masih membuatku harus bersyukur karena aku masih bernafas dan “Melihat”.  Sungguh Engkau Maha Pemurah dan Maha Pemberi Nikmat.

***
Aku merasakan sesuatu yang asing di taman ini. Aku merasakan kehadiran manusia lain selain aku dan ayah.
Suara berat yang meluncur dari bibir mungil seorang pemuda bertubuh tegap membuat beberapa burung pipit kaget.
“Kau senang  mengunjungi taman ini?” Pemuda itu mengawali pembicaraannya.
Ra sedikit kikuk, mencengkeram tangan ayah yang duduk di sampingnya. Ayah memegang lembut lengannya memberi tanda bahwa orang asing itu tidaklah menyeramkan.
Ra sedikit lebih tenang. Ia mulai menjawab, “Tentu…aku mencintai taman ini..”
Ra mulai menggambarkan sosok asing itu. Ia tersenyum geli. Hanya ia yang tahu bagaimana membentuk rupa orang asing itu. Mulai dari wajah, hidung, mata hingga postur tubuh.
Pemuda itu sedikit melengkungkan bibirnya.
“Apa yang membuatmu jatuh cinta pada taman ini? Tanyanya.
Ra tersenyum sejenak….”Aku pikir taman ini begitu indah. Tempat yang membuatku bisa merasakan semilir angin yang membawa satu harapan. Tempat para bunga memercikan harumnya keindahan. Tempat dimana aku bisa melihat banyak hal….”
Dan Ra meneruskan kalimatnya dalam hati.
“Taman ini begitu indah. Tapi Tuhan akan memberikan taman yang jauh lebih indah daripada ini pada mereka yang taat pada-Nya dan aku ingin mendapat tempat di taman itu.”



Setiap kalimat yang di ucapkan gadis itu selalu mampu membuatku terpukau. Gadis itu Aura. Bibirnya selalu melengkung, tersenyum manis. Sikapnya penuh dengan keceriaan. Ia selalu merentangkan tangannya menggapai harap. Jauh dari putus asa. Keyakinannya yang begitu kokoh, cara dia memandang sesuatu, begitu indah.
Aku, Adam. Si orang asing di taman itu hanyalah manusia yang tak tahu diri. Sungguh aku merasa tak punya muka bila bertemu dengannya. Membuat kesombongan yang ada padaku hilang. Aku adalah manusia yang selalu menginginkan kesempurnaan dalam hidup. Aku tak pernah  mau menemukan satu kekurangan dalam hidup dan duniaku. Aku selalu menggunakan posisiku untuk membuat orang-orang di sekitarku tunduk dan selalu berkata, “YA” Aku tak pernah suka dibantah dan aku yang menentukan duniaku sendiri. Aku menyebut diriku manusia angkuh.
Aku tak pernah berpikir bahwa aku akan terlempar dari duniaku yang sempurna dan merasa menjadi manusia paling dungu. Tadinya aku berpikir, aku adalah manusia yang akan terus hidup dalam kesempurnaan.
Memoriku berputar…..
Satu persatu runtuh . Timbunan hartaku lenyap, ragaku menjadi budak bubuk neraka dan sepasang kaki yang menyokong ragaku berdiri tegak sambil membusungkan dada memandang remeh kini mentertawakanku. Telunjuk saktiku pun tak ada gunanya lagi. Mereka tak mau menemani manusia sepertiku lagi.
Dari gadis  istimewa itulah aku terbangun. Ia selalu berkata, “Tuhan tak akan pernah meninggalkanmu jika kau meminta pertolongan hanya pada-Nya dan kembali menginat-Nya"
Kesalahanku sunnguh tak terhitung. Ingin rasanya aku menjadi debu dan ditabur di lautan. Aku ingin lari dari ketidaksempurnaan hidupku sekarang dan berharap tak ada yang bisa menemukanku. Dengan begitu, selesailah semua urusanku.
Aku benar-benar tak sanggup.
Di taman itu ketika aku sudah setengah gila, aku bertemu Ra. Gadis manis dengan sepasang mata yang luar  biasa memberiku suntikan semangat hidup. Membuatku memandang seperti caranya memandang. Aku tak pernah menceritakan kisah hidupku padanya, tapi aku merasakan ia tahu semuanya. Dan setiap kalimat yang diucapkannya selalu menyentuh bahkan dari caranya tersenyum, gerak tangannya, cara ia bertutur dan tertawa, membuatku sadar aku terlalu cengeng dan tak tahu berterima kasih.
“Tuhan itu Maha Pemaaf. Tak ada yang bisa mengukur kedalaman kasih-Nya dan kau tahu kak? Tuhan akan selalu menerima hamba yang percaya dan kembali pada-Nya untuk memperbaiki kesalahan.”
Kalimat yang di ucapkan Ra begitu melekat dan membuatku berfiikir…
Benarkah? Jauhkan rasa ragu dariku Tuhan…

***
Aku telah menuliskan namamu di dalam hatiku
Memantulkan wajahmu dalam cermin jiwaku
Menampilkanmu dalam galeri mataku
Ini menunjukkan betapa aku mencintai dan menyangimu,
Ibuku,Ibuku, Ibuku, dan Ayahku

Ibu dan ayahku, dua orang terkasih dalam hidupku. Kutahu kalian pernah menitikkan air mata untukku. Kutahu kalian begitu mengasihiku. Memohonkan kesempurnaan dalam hidupku. Mencoba mengambil sejumput harap untukku bisa berjalan tegak dan memandang dunia dengan mata berbinar.
Ibu dan ayahku sayang……
Sungguh aku telah mendapatkan itu dalam hidupku. Untaian doa kalian telah bisa membuatku melihat dengan sepasang mata yang begitu indah dan lebih berbinar dari mata manusia lainnya. Membuatku bisa berdiri dengan tongkat keyakinan dan semangat.
Sungguh aku beruntung memiliki kalian. Aku tak akan pernah meratap sendu berputus asa.
Mengingat senyummu, Ibu. Senyum yang hanya aku lihat dari alam imajiku membuatku selalu ingin tersenyum. Senyumm, Ibu mengajariku makna ketulusan dan keikhlasan.
Mengingat halus dan lembutnya sentuhan kasihmu, Ayah membuatku harus mengucap syukur. Aku tak pernah merasa sendiri dan tak boleh merasa sendiri. Ingatkah kata-kata yang kau ucapkan itu?
Aku ingin menjadi matahari kalian. Aku ingin menjadi cahaya yang tak pernah meredup. Tapi kutahu tak kan ada yang kekal di sini dan tak kan pernah ada kesempurnaan di sini. Semua adalah milik-Nya. Tapi izinkanlah untukku sekejap menjadi bagian penyempurna hidup ibu dan ayah.
Aku sungguh bahagia dan aku ingin mencapai kebahagiaan yang lebih besar dari ini. Doaku tak bertepi untukmu, Ibu dan ayah. Aku selalu menyayangi kalian.


Aku tak mampu meneruskan membaca tutur Ra dalam lembar bukunya. Ayah begitu tegar meskipun ku tahu ia terluka. Impian Ra menjadi seorang penulis kini terkabul. Aku menggengggam sebuah buku yang berjudul “Sehangat Pagi” yang berisi semua cerita yang ingin ia bagi  dengan orang-orang yang begitu ia cintai.
Membaca bagian penutup bukunya menbuatku merasa ia tetap ada di sini, tersenyum dengan tulus. Aku selalu ingat caranya merentangkan tangan lebar-lebar menghirup udara taman, caranya memandang hidup melalui sepasang mata yang indah, yaitu mata hati dan caranya bertutur memuji, mensyukuri nikmat meskipun ia hidup dalam ketidaksempurnaan. Ia tidak bisa melihat karena dua bola matanya tumbuh tak sempurna dan ia tak pernah bisa melihat rupa orang-orang terkasihnya, bulan, bintang, matahari, semua hal yang di sukainya. Orang-orang bisa saja menyebut ia hidup dalam gelap. Tapi sesungguhnya ia hidup dalam terang.

***
Aku kembali ke taman itu. Tapi kali ini tak akan ada lagi gadis periang bernama Aura. Aku selalu merindukanmu, Ra. Aku rindu celoteh cerdasmu tentang hidup. Aku rindu mendengar tuturmu memberiku semangat untuk bisa kembali berjalan menggunakan tongkat kerendahan hati dan  ketegaran.
Aku rindu melihat senyum bulan sabitmu.
Ayah menggenggam pundakku. Matanya menatapku. Ia tak banyak bicara dan ia hanya membisikan pelan sebuah kalimat, “Jangan bersedih dan meratap”. Suatu saat nanti aku, ayahmu, bahkan semua yang ada di sini akan kembali. Hanya saja kau mendahului kami terlampau cepat"  Matahari tetap bersinar. Angin bertiup sendu. Dan aku meninggalkan taman ini bersama ayahmu dengan perasaan yang aneh. Kami mencoba tersenyum. Aku memutar kursi roda. Sekali lagi memandang taman dimana aku bertemu gadis manis penuh semangat hidup.
            Aku akan selalu mengingatmu Ra. Mengingat pagi yang begitu hangat. Selalu...



Cerpen ini tergabung dalam antologi diatas :) diterbitkan oleh penerbit Soega
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menulis selalu menjadi obat mujarab untukku. Saat raga lelah dan pikiran seolah tak berada di tempat, menulis memberi suntikan dan nutrisi tersendiri...

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^