Aku
melipat rapi selembar kertas dan kumasukan kedalam sebuah amlop putih kecil. Di
sampul depan tertulis “ Untuk Ambu dan Apa tercinta” Aku memandanginya sejenak,
tersenyum simpul. Dengan hati-hati kumasukan kedalam sebuah toples kaca antik
berukuran besar. Didalamnya sudah ada empat buah amplop berisi surat dengan
sampul depan yang tertulis sama. Untuk “Ambu
dan Apa tercinta”*
Senyumku
makin mengembang membayangkan betapa toples itu akan terisi penuh oleh surat-suratku.
Sebuah tulisan tangan istimewa. Tak seorang pun yang tahu bahwa setiap satu
bulan sekali ketika sebelum jam tidur, aku dengan seriusnya duduk menghadap
meja belajar. Mengambil secarik kertas dan mulai menari nari diatas barisan
kertas putih. Setiap kali aku menulis, hatiku akan dipenuhi banyak rasa. Aku
menuliskan sesuatu yang amat rahasia.
Sudah
empat surat dan itu berarti sudah bulan ke empat aku menulis. Saat itu aku
masih duduk di bangku kelas satu SMA. Aku menyimpan dengan baik toples itu di
tempat yang rahasia. Dan aku hanya ingin isi dari toples di baca oleh dua orang
yang namanya selalu tertulis di sampul depan surat, tapi itu pun tidak
sekarang. Aku akan memberikan toples itu suatu saat nanti dalam sebuah waktu
yang menurutku istimewa.
***
Di
rumah ini ada empat orang yang aku sayangi. Di urutan pertama ada Ambu, seorang
wanita berperawakan mungil namun tegasnya luar biasa. Aku dan kedua adikku akan
merasa ciut dan tak berani melawan perintahnya. Sebuah perintah yang saat itu
kami anggap sesuatu yang berat. Beliau selalu menyuruh kami untuk belajar. Kami
tak akan banyak bicara dan melangkah ke dalam kamar, mengambil buku pelajaran
dan mulai menekuni dengan khusyuk. Saat itu kadang aku merasa jengkel dengan
peraturan Ambu yang amat ketat, terutama soal belajar. Aku tak bisa bebas
bermain sepuasnya. Kadang aku ingin seperti temanku yang lain. Pulang sekolah bisa
nongkrong dulu atau bahkan bermain sampai malam. Ambu hanya memperbolehkan aku
menghabiskan waktu bermain sedikit lebih lama di akhir pekan. Itu pun karena
sabtu dan minggu tak ada jadwal les bahasa Inggris. Dan jam bermain berlaku
hanya sampai pukul setengah sepuluh malam.
Peraturan
ini tak hanya berlaku untukku saja. Tapi untuk kedua adikku juga, Farhan dan
Faiz. Kami bertiga terbiasa menjalani jadwal belajar yang amat disiplin.
Sesuatu yang pada awalnya terasa sangat berat dan sering membuat kami sebal.
Tapi sungguh, Ambu perasaan itu hanya
ada ketika kami belum sepenuhnya mengerti bahwa apa yang engkau lakukan karena
kau menyayangi kami. Engkau hanya ingin melihat kami tumbuh dengan ilmu. Dan
ketika aku berada di tempatku sekarang berdiri, aku menyadari bahwa aku tak
akan sanggup mengucapkan beribu terima kasih padamu, Ambu. Membalas semua cinta
dan kasihmu. Aku beruntung memilikimu, Ambu. Seorang Ibu yang tak pernah absen
menyuruh kami belajar!
***
Setelah
Ambu ada Apa. Seorang laki laki berkulit putih pucat berperawakan tinggi kecil.
Beliau menghabiskan waktu sehari harinya bekerja sebagai montir di sebuah
bengkel kecil milik Pak Lurah. Apa adalah seorang pria murah senyum yang begitu
telaten mengajari kami membaca kitab suci. Dimulai dari huruf alif sampai kami
mampu membaca rangkaian kalimat kalimat indah dari kitab tuntunan hidup itu.
Beliau juga sering mengajak kami duduk di dekatnya dan kemudian beliau akan
mengobrol, bercerita dengan kami tentang banyak hal. Menurutku Ambu dan Apa
adalah pasangan serasi dalam banyak hal. Mereka sama sama seorang pekerja keras
dan mereka berdua adalah orang tua yang mendisiplinkan waktu belajar kami.
Sepasang suami istri yang mendidik kami dengan ilmu dan cinta.
Apa
memang bukan orang yang banyak bicara. Beliau hanya akan berbicara sedikit
lebih cerewet ketika mengajari kami mengaji dan mengingatkan kami untuk shalat
tepat waktu. Ia tipe Ayah penyabar karena beliau tak pernah menghardik kami
atau bahkan memukul jika kami berbuat salah. Ketika kami mulai besar, jika
salah satu dari kami dirasanya nakal, beliau akan memanggil kami duduk
berhadapan dengannya. Sikapnya dingin dan kulit wajahnya yang putih pucat akan
berubah menjadi merona bak tomat. Pandangan matanya yang tajam membuat kami tak
berani menatap mata Apa. Ia hanya akan berkata, “ Apa sedih...” Kemudian kami
yang sadar betul kalau kami salah hanya bisa menunduk dan berkata pelan, “ maafkan
aku, Apa...’
Apa
tak pernah menjelaskan panjang lebar kesalahan kami karena kami sendiri yang
akan dibuatnya menyadari kenakalan yang sudah kami lakukan. Selama beberapa jam
ia tak akan mengajak kami bicara. Dan bagiku tak diajak bicara oleh apa adalah
hal yang membuat hati kami sedih dan risau. Seketika aku kehilangan raut wajah
Apa yang hangat dan penuh kasih. Dalam beberapa jam itu perasaanku tak karuan.
Sampai akhirnya Apa kembali ramah barulah aku akan merasa lega.
Aku
dan kedua adikku belajar untuk memaknai kalimat Apa ketika beliau marah. “ Apa
sedih..” Ya, beliau akan sedih jika melihat kami nakal. Sedih karena perjuangan
beliau sebagai orang tua, mendidik kami tak dihargai oleh kami dengan kami
berbuat nakal. Dan pada prosesnya, akhirnya kami menyadari bahwa perjuangan
menjadi orang tua tidaklah mudah. Apalagi mengingatmu, Apa... Ayahku yang
pekerja keras dan penuh kasih. Saat aku menjadi seperti sekarang, akan aku
katakan bahwa aku ingin sepertimu dan aku bangga menjadi anak Apa. Aku berjanji untuk tak
pernah membuatmu merasa sedih dan kecewa.
***
Orang
tuaku adalah sepasang desainer hebat. Mereka memang tak pernah duduk di bangku
universitas dan belajar ilmu rancang bangun. Tapi mereka mampu merancang hal
istimewa untuk anak-anaknya. “ Merancang pendidikan kami “ memikirkan sesuatu
yang jauh kedepan. Memikirkan sesuatu yang mungkin pada saat itu masih
terdengar aneh di kampung tempat kami tinggal.
Saat
itu mata pelajaran bahasa Inggris belumlah sepopuler sekarang. Aku mulai
belajar bahasa Inggris ketika duduk di bangku SMA. Dan itu pun materi yang aku
pelajari adalah materi dasar yang di zaman sekarang ini di pelajari oleh anak
SD. Saat belum banyak orang berpikir untuk belajar lebih dalam bahasa yang satu
ini, Ambu sudah memikirkannya. Dan itu terjadi bukan tanpa alasan.
Kampung
tempat aku tinggal adalah sebuah kampung pariwisata dengan banyak villa dan
penginapan. Lalu lalang orang asing bukanlah hal yang baru untukku dan penduduk
kampung. Mereka, para bule itu adalah tontonan yang menarik bagi kami. Begitu
pun juga menurut mereka. Kampung kami dan seisinya adalah hal menarik untuk
diamati. Mereka sering berjalan jalan di kampung kami dan berbicara “
cas...cis...cus...” bahasa yang tak kami mengerti.
Ambu
yang berjualan kue tradisional di warung kecilnya sering mendapatkan pembeli
bule. Dan tentunya ketika transaksi jual beli terjadi mereka berbicara dengan
bahasa masing masing di tambah dengan sedikit gerak jari ketika terjadi
transaksi pembayaran. Aku sering merasa geli mendengar Ambu mencoba bicara
bahasa Inggris. Beliau sering bertanya beberapa kosakata pada Kang Arman atau Kang Wawan, dua orang
yang fasih berbicara bahasa Inggris.
Mereka berdua adalah putra Pak Lurah yang memang lulusan sastra Inggris.
Setelah lulus kuliah, mereka lah yang mengelola pariwisata di kampung kami sekaligus juga
menjadi pemandu wisata.
Aku
sering terkagum kagum bila mendengar mereka berbicara bahasa Inggris. Terdengar
amat keren buatku. Dan tak kusangka, Ambu yang hanya seorang perempuan lulusan
SKP memiliki pemikiran yang hebat. Beliau ingin kami belajar pada Kang Arman
dan Kang wawan. Suatu waktu ia pernah berkata padaku, “zaman tambih kadieu tambih maju. Ulah isin tur sieun mapag kanu matak
pilereuseun mah. Teu aya lepatna urang di ajar ti ayeuna. Supados Ncep tiasa nyanghareupan zaman nu tambih maju”**
Sempat
terpikir olehku untuk belajar pada Kang Arman. Tapi tujuanku belajar bahasa Inggris
tidaklah sehebat pemikiran Ambu. Saat itu aku hanya ingin terlihat keren karena
mampu berbicara bahasa para bule. Dan di perjalanan hidupku, aku tumbuh dengan
banyak ditulari idealisme seorang Ambu.
***
Yang
aku ceritakan tadi hanyalah sebagian kecil peran orang tuaku menjadikan aku
seseorang yang ingin terus menuntut ilmu. Ambu dan Apa adalah motivator terbaik
dalam hidupku. Manusia penuh cinta yang berjuang untuk anaknya. Aku tak akan
sanggup lupa pada setiap jengkal pengorbanannya untukku.
Saat
itu aku baru lulus SMA. Ambu bersikeras agar aku melanjutkan sekolah di kampus
Pendidikan Guru. Ia ingin aku menjadi guru. Saat itu hatiku bimbang karena aku
tahu betul sekolah di sana membutuhkan biaya banyak. Dan jarak kampus yang
cukup jauh dari kampungku membuatku harus kost. Ah, tak sanggup aku
membayangkan akan betapa repotnya mereka membiayaiku.
Aku
sempat berpikir untuk bekerja saja membantu Ambu dan Apa. Tapi ketika tanpa
sepengetahuanku mereka telah menjual sepetak kecil sawah peninggalan dan
mendaftarkanku di PGSD, aku tak bisa menolak. Mereka meyakinkanku bahwa akan
ada rezeki mengalir untuk orang yang menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas dan
hanya karena mencari rodho Tuhan.
Sebetulnya
aku tak tega. Tapi ketika melihat binar harap di mata mereka, dalam hati aku
bertekad, “ aku akan membuat Ambu dan Apa tersenyum haru dan bangga “ Ya, sejak
hari pertama aku belajar aku selalu berusaha untuk tidak lalai menjalankan
amanat orang tuaku. Lulus dengan hasil yang bagus dan membanggakan mereka.
***
Ambu
dan apa, aku memiliki sebuah rahasia yang tidak kalian ketahui. Setiap satu
bulan sekali aku menulis surat untuk kalian dan itu sudah aku lakukan sejak aku
berusia tujuh belas tahun. Kini usiaku dua puluh delapan tahun. Tak terasa
rupanya hal itu sudah berlangsung selama sebelas tahun. Ada seratus tiga puluh
dua surat yang sudah aku tulis. Dan lihatlah untuk siapa surat surat itu aku
tujukan. Hanya untuk Ambu dan Apa.
Seperti
janjiku dulu, aku hanya akan memberitahu rahasiaku di satu waktu yang menurutku
tepat. Sebuah waktu dimana aku bisa melihat senyum lebar kalian dengan setitik
air mata yang menggantung di sudut mata kalian yang mulai menua. Saat dimana
aku memakai toga untuk diwisuda memperoleh gelar S2. Sesuatu yang tak
terpikirkan olehku namun telah kalian rancang jauh jauh hari.
Maukah
kalian membaca suratku, Ambu dan Apa. Surat ke seratus tiga puluh dua ini aku
tulis tiga hari yang lalu sebelum acara wisuda.
“ Ambu dan Apa yang
penuh cinta....sudikah kiranya kalian mengelus lembut kepalaku dan mencium
keningku? Aku memang sudah besar. Tapi aku sungguh ingin kalian melakukannya
sebagai tanda sayang kalian. Aku
mencintai kalian berdua. Setiap langkah yang aku tapaki selalu penuh dengan doa
tulus kalian.
Suatu kali aku pernah
melihatmu khusyuk dalam doa, Ambuku sayang. Engkau menyebut namaku, memohon agar Sang Maha
Berkehendak memudahkan jalanku mencari ilmu. Ambu...doamu terkabul. Jalanku
mencari dan meraih ilmu dimudahkan. Beberapa hari lagi, aku akan di wisuda S2.
Bagaimana perasaanmu, Ambu melihat aku yang bisa melanjutkan sekolah tak hanya
sampai sarjana saja. Bahkan aku akan terus melanjutkan sekolahku dan meraih
ilmu selama aku mampu.
Apa yang
lembut...rupanya putramu ini sudah tumbuh menjadi pemuda dewasa. Engkau adalah
teladan untukku. Taukah engkau, Apa
bahwa aku akan jadi duplikatmu jika kelak aku memiliki keluarga dan putra. Aku
ingin menjadi Apa yang sepertimu. Sanggup membuat putranya bangga dan merasa menjadi anak paling
beruntung memiliki seorang Ayah sepertimu. Semoga kebahagiaan selalu mengiringi
hidupmu, Apa dan Ambu tersayang....”
***
Aku
memang sudah tak menulis surat lagi di atas kertas untuk Ambu dan Apa. Kini,
aku menuliskan kalimat ucapan sayang dan terima kasihku dalam untaian doa. Ambu
dan apa sudah tak berada lagi di sampingku. Aku masih mengingat dengan manis raut terkejut Ambu dan
Apa dua puluh tahun lalu ketika aku memberikan mereka sebuah toples kaca ukuran
besar berisi suratku. Dahi mereka berkerut. Ambu bertanya kepadaku, “ naon ieu teh, Cep...”*** aku tersenyum
simpul dan kujelaskan pada mereka. Maafkan aku, Ambu dan Apa karena aku memberi
kalian sebuah pekerjaan rumah baru. Membaca ratusan suratku. Surat yang berisi
rangkuman perasaanku pada kalian yang aku tulis setiap bulannya.
Aku
juga tak akan pernah lupa ketika mereka selesai membaca semua suratku dalam
waktu yang tak sebentar, mereka mengatakan sesuatu yang membuatku menangis
sesenggukan. Ambu dan Apa mengatakan, “
doa Ambu sareng Apa di kabul ku Gusti Allah..tiasa ningal pun anak sakola luhur,
jadi jalmi...Sing bageur, Ncep mapag kahirupan. Tebihkeun agul tur cakeutkeun
hidep ka ajaran agama. Insya allah salamet dunia akhirat “****
Kini
usiaku sudah empat puluh delapan tahun. Aku memiliki tiga putra seperti yang
dimiliki Apa. Putra pertamaku kini berusia tujuh belas tahun. Sebuah usia
dimana aku memulai proyek rahasiaku menulis surat. Dan cerita toples kaca antik
itu adalah sebuah kenangan indah bagiku dan aku sudah membagi kisahku ini pada
anak anakku. Bahkan aku masih menyimpan rapi surat suratku itu lengkap dengan
toples kacanya yg masih terawat. Tulisan tangan ungkapan rasa cintaku pada orang
tuaku. Sebuah awal yang tanpa aku sadari menumbuhkan kecintaanku pada dunia
menulis. Aku ingin menulis lebih banyak buku di usiaku yang menua ini. Ya, aku
kini menjadi seorang penulis sekaligus sebagai seorang dosen mata kuliah bahasa
Inggris. Sebuah mata pelajaran yang sudah terpikirkan oleh Ambu akan menjadi
sesuatu yang sangat diperlukan di masa depan. Dan ya, itu sudah terbukti
sekarang....
*Panggilan
untuk Ibu dan Bapak dalam bahasa sunda
**
Zaman makin kesini makin maju. Jangan takut menuju sesuatu yang membawa diri
pada kebaikan. Tidak ada salahnya kita belajar dari sekarang. Agar bisa menghadapi zaman yang tambah maju.
***Apa
ini?
****
Doa Ibu dan Ayah dikabulkan Allah. Bisa melihat anak sekolah tinggi, berhasil.
Baik-baiklah menjalani kehidupan.. jauhkan diri dari sifat sombong dan dekatlah
selalu dengan ajaran agama. Insya allah selamat dunia akhirat
Ncep/cep : Panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa sunda
Ncep/cep : Panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^