Berbagi kisah dan rasa

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Toples Kaca Antik


Aku melipat rapi selembar kertas dan kumasukan kedalam sebuah amlop putih kecil. Di sampul depan tertulis “ Untuk Ambu dan Apa tercinta” Aku memandanginya sejenak, tersenyum simpul. Dengan hati-hati kumasukan kedalam sebuah toples kaca antik berukuran besar. Didalamnya sudah ada empat buah amplop berisi surat dengan sampul depan yang tertulis sama. Untuk “Ambu dan Apa tercinta”*
Senyumku makin mengembang membayangkan betapa toples itu akan terisi penuh oleh surat-suratku. Sebuah tulisan tangan istimewa. Tak seorang pun yang tahu bahwa setiap satu bulan sekali ketika sebelum jam tidur, aku dengan seriusnya duduk menghadap meja belajar. Mengambil secarik kertas dan mulai menari nari diatas barisan kertas putih. Setiap kali aku menulis, hatiku akan dipenuhi banyak rasa. Aku menuliskan sesuatu yang amat rahasia.
Sudah empat surat dan itu berarti sudah bulan ke empat aku menulis. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas satu SMA. Aku menyimpan dengan baik toples itu di tempat yang rahasia. Dan aku hanya ingin isi dari toples di baca oleh dua orang yang namanya selalu tertulis di sampul depan surat, tapi itu pun tidak sekarang. Aku akan memberikan toples itu suatu saat nanti dalam sebuah waktu yang menurutku istimewa.

***
Di rumah ini ada empat orang yang aku sayangi. Di urutan pertama ada Ambu, seorang wanita berperawakan mungil namun tegasnya luar biasa. Aku dan kedua adikku akan merasa ciut dan tak berani melawan perintahnya. Sebuah perintah yang saat itu kami anggap sesuatu yang berat. Beliau selalu menyuruh kami untuk belajar. Kami tak akan banyak bicara dan melangkah ke dalam kamar, mengambil buku pelajaran dan mulai menekuni dengan khusyuk. Saat itu kadang aku merasa jengkel dengan peraturan Ambu yang amat ketat, terutama soal belajar. Aku tak bisa bebas bermain sepuasnya. Kadang aku ingin seperti temanku yang lain. Pulang sekolah bisa nongkrong dulu atau bahkan bermain sampai malam. Ambu hanya memperbolehkan aku menghabiskan waktu bermain sedikit lebih lama di akhir pekan. Itu pun karena sabtu dan minggu tak ada jadwal les bahasa Inggris. Dan jam bermain berlaku hanya sampai pukul setengah sepuluh malam.
Peraturan ini tak hanya berlaku untukku saja. Tapi untuk kedua adikku juga, Farhan dan Faiz. Kami bertiga terbiasa menjalani jadwal belajar yang amat disiplin. Sesuatu yang pada awalnya terasa sangat berat dan sering membuat kami sebal. Tapi sungguh, Ambu perasaan itu  hanya ada ketika kami belum sepenuhnya mengerti bahwa apa yang engkau lakukan karena kau menyayangi kami. Engkau hanya ingin melihat kami tumbuh dengan ilmu. Dan ketika aku berada di tempatku sekarang berdiri, aku menyadari bahwa aku tak akan sanggup mengucapkan beribu terima kasih padamu, Ambu. Membalas semua cinta dan kasihmu. Aku beruntung memilikimu, Ambu. Seorang Ibu yang tak pernah absen menyuruh kami belajar!

***
Setelah Ambu ada Apa. Seorang laki laki berkulit putih pucat berperawakan tinggi kecil. Beliau menghabiskan waktu sehari harinya bekerja sebagai montir di sebuah bengkel kecil milik Pak Lurah. Apa adalah seorang pria murah senyum yang begitu telaten mengajari kami membaca kitab suci. Dimulai dari huruf alif sampai kami mampu membaca rangkaian kalimat kalimat indah dari kitab tuntunan hidup itu. Beliau juga sering mengajak kami duduk di dekatnya dan kemudian beliau akan mengobrol, bercerita dengan kami tentang banyak hal. Menurutku Ambu dan Apa adalah pasangan serasi dalam banyak hal. Mereka sama sama seorang pekerja keras dan mereka berdua adalah orang tua yang mendisiplinkan waktu belajar kami. Sepasang suami istri yang mendidik kami dengan ilmu dan cinta.
Apa memang bukan orang yang banyak bicara. Beliau hanya akan berbicara sedikit lebih cerewet ketika mengajari kami mengaji dan mengingatkan kami untuk shalat tepat waktu. Ia tipe Ayah penyabar karena beliau tak pernah menghardik kami atau bahkan memukul jika kami berbuat salah. Ketika kami mulai besar, jika salah satu dari kami dirasanya nakal, beliau akan memanggil kami duduk berhadapan dengannya. Sikapnya dingin dan kulit wajahnya yang putih pucat akan berubah menjadi merona bak tomat. Pandangan matanya yang tajam membuat kami tak berani menatap mata Apa. Ia hanya akan berkata, “ Apa sedih...” Kemudian kami yang sadar betul kalau kami salah hanya bisa menunduk dan berkata pelan, “ maafkan aku, Apa...’
Apa tak pernah menjelaskan panjang lebar kesalahan kami karena kami sendiri yang akan dibuatnya menyadari kenakalan yang sudah kami lakukan. Selama beberapa jam ia tak akan mengajak kami bicara. Dan bagiku tak diajak bicara oleh apa adalah hal yang membuat hati kami sedih dan risau. Seketika aku kehilangan raut wajah Apa yang hangat dan penuh kasih. Dalam beberapa jam itu perasaanku tak karuan. Sampai akhirnya Apa kembali ramah barulah aku akan merasa lega.
Aku dan kedua adikku belajar untuk memaknai kalimat Apa ketika beliau marah. “ Apa sedih..” Ya, beliau akan sedih jika melihat kami nakal. Sedih karena perjuangan beliau sebagai orang tua, mendidik kami tak dihargai oleh kami dengan kami berbuat nakal. Dan pada prosesnya, akhirnya kami menyadari bahwa perjuangan menjadi orang tua tidaklah mudah. Apalagi mengingatmu, Apa... Ayahku yang pekerja keras dan penuh kasih. Saat aku menjadi seperti sekarang, akan aku katakan bahwa aku ingin sepertimu dan aku bangga  menjadi anak Apa. Aku berjanji untuk tak pernah membuatmu merasa sedih dan kecewa.

***
Orang tuaku adalah sepasang desainer hebat. Mereka memang tak pernah duduk di bangku universitas dan belajar ilmu rancang bangun. Tapi mereka mampu merancang hal istimewa untuk anak-anaknya. “ Merancang pendidikan kami “ memikirkan sesuatu yang jauh kedepan. Memikirkan sesuatu yang mungkin pada saat itu masih terdengar aneh di kampung tempat kami tinggal.
Saat itu mata pelajaran bahasa Inggris belumlah sepopuler sekarang. Aku mulai belajar bahasa Inggris ketika duduk di bangku SMA. Dan itu pun materi yang aku pelajari adalah materi dasar yang di zaman sekarang ini di pelajari oleh anak SD. Saat belum banyak orang berpikir untuk belajar lebih dalam bahasa yang satu ini, Ambu sudah memikirkannya. Dan itu terjadi bukan tanpa alasan.
Kampung tempat aku tinggal adalah sebuah kampung pariwisata dengan banyak villa dan penginapan. Lalu lalang orang asing bukanlah hal yang baru untukku dan penduduk kampung. Mereka, para bule itu adalah tontonan yang menarik bagi kami. Begitu pun juga menurut mereka. Kampung kami dan seisinya adalah hal menarik untuk diamati. Mereka sering berjalan jalan di kampung kami dan berbicara “ cas...cis...cus...” bahasa yang tak kami mengerti.
Ambu yang berjualan kue tradisional di warung kecilnya sering mendapatkan pembeli bule. Dan tentunya ketika transaksi jual beli terjadi mereka berbicara dengan bahasa masing masing di tambah dengan sedikit gerak jari ketika terjadi transaksi pembayaran. Aku sering merasa geli mendengar Ambu mencoba bicara bahasa Inggris. Beliau sering bertanya beberapa kosakata  pada Kang Arman atau Kang Wawan, dua orang yang  fasih berbicara bahasa Inggris. Mereka berdua adalah putra Pak Lurah yang memang lulusan sastra Inggris. Setelah lulus kuliah, mereka lah yang mengelola  pariwisata di kampung kami sekaligus juga menjadi pemandu wisata.
Aku sering terkagum kagum bila mendengar mereka berbicara bahasa Inggris. Terdengar amat keren buatku. Dan tak kusangka, Ambu yang hanya seorang perempuan lulusan SKP memiliki pemikiran yang hebat. Beliau ingin kami belajar pada Kang Arman dan Kang wawan. Suatu waktu ia pernah berkata padaku, “zaman tambih kadieu tambih maju. Ulah isin tur sieun mapag kanu matak pilereuseun mah. Teu aya lepatna urang di ajar ti ayeuna. Supados Ncep tiasa  nyanghareupan zaman  nu tambih maju”**
Sempat terpikir olehku untuk belajar pada Kang Arman. Tapi tujuanku belajar bahasa Inggris tidaklah sehebat pemikiran Ambu. Saat itu aku hanya ingin terlihat keren karena mampu berbicara bahasa para bule. Dan di perjalanan hidupku, aku tumbuh dengan banyak ditulari idealisme seorang Ambu.

***
Yang aku ceritakan tadi hanyalah sebagian kecil peran orang tuaku menjadikan aku seseorang yang ingin terus menuntut ilmu. Ambu dan Apa adalah motivator terbaik dalam hidupku. Manusia penuh cinta yang berjuang untuk anaknya. Aku tak akan sanggup lupa pada setiap jengkal pengorbanannya untukku.
Saat itu aku baru lulus SMA. Ambu bersikeras agar aku melanjutkan sekolah di kampus Pendidikan Guru. Ia ingin aku menjadi guru. Saat itu hatiku bimbang karena aku tahu betul sekolah di sana membutuhkan biaya banyak. Dan jarak kampus yang cukup jauh dari kampungku membuatku harus kost. Ah, tak sanggup aku membayangkan akan betapa repotnya mereka membiayaiku.
Aku sempat berpikir untuk bekerja saja membantu Ambu dan Apa. Tapi ketika tanpa sepengetahuanku mereka telah menjual sepetak kecil sawah peninggalan dan mendaftarkanku di PGSD, aku tak bisa menolak. Mereka meyakinkanku bahwa akan ada rezeki mengalir untuk orang yang menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas dan hanya karena mencari rodho Tuhan.
Sebetulnya aku tak tega. Tapi ketika melihat binar harap di mata mereka, dalam hati aku bertekad, “ aku akan membuat Ambu dan Apa tersenyum haru dan bangga “ Ya, sejak hari pertama aku belajar aku selalu berusaha untuk tidak lalai menjalankan amanat orang tuaku. Lulus dengan hasil yang bagus dan membanggakan mereka.

***
Ambu dan apa, aku memiliki sebuah rahasia yang tidak kalian ketahui. Setiap satu bulan sekali aku menulis surat untuk kalian dan itu sudah aku lakukan sejak aku berusia tujuh belas tahun. Kini usiaku dua puluh delapan tahun. Tak terasa rupanya hal itu sudah berlangsung selama sebelas tahun. Ada seratus tiga puluh dua surat yang sudah aku tulis. Dan lihatlah untuk siapa surat surat itu aku tujukan. Hanya untuk Ambu dan Apa.
Seperti janjiku dulu, aku hanya akan memberitahu rahasiaku di satu waktu yang menurutku tepat. Sebuah waktu dimana aku bisa melihat senyum lebar kalian dengan setitik air mata yang menggantung di sudut mata kalian yang mulai menua. Saat dimana aku memakai toga untuk diwisuda memperoleh gelar S2. Sesuatu yang tak terpikirkan olehku namun telah kalian rancang jauh jauh hari.
Maukah kalian membaca suratku, Ambu dan Apa. Surat ke seratus tiga puluh dua ini aku tulis tiga hari yang lalu sebelum acara wisuda.
“ Ambu dan Apa yang penuh cinta....sudikah kiranya kalian mengelus lembut kepalaku dan mencium keningku? Aku memang sudah besar. Tapi aku sungguh ingin kalian melakukannya sebagai tanda  sayang kalian. Aku mencintai kalian berdua. Setiap langkah yang aku tapaki selalu penuh dengan doa tulus kalian.
Suatu kali aku pernah melihatmu khusyuk dalam doa, Ambuku sayang. Engkau  menyebut namaku, memohon agar Sang Maha Berkehendak memudahkan jalanku mencari ilmu. Ambu...doamu terkabul. Jalanku mencari dan meraih ilmu dimudahkan. Beberapa hari lagi, aku akan di wisuda S2. Bagaimana perasaanmu, Ambu melihat aku yang bisa melanjutkan sekolah tak hanya sampai sarjana saja. Bahkan aku akan terus melanjutkan sekolahku dan meraih ilmu selama aku mampu.
Apa yang lembut...rupanya putramu ini sudah tumbuh menjadi pemuda dewasa. Engkau adalah teladan untukku. Taukah engkau,  Apa bahwa aku akan jadi duplikatmu jika kelak aku memiliki keluarga dan putra. Aku ingin menjadi Apa yang sepertimu. Sanggup membuat  putranya bangga dan merasa menjadi anak paling beruntung memiliki seorang Ayah sepertimu. Semoga kebahagiaan selalu mengiringi hidupmu, Apa dan Ambu tersayang....”
***
Aku memang sudah tak menulis surat lagi di atas kertas untuk Ambu dan Apa. Kini, aku menuliskan kalimat ucapan sayang dan terima kasihku dalam untaian doa. Ambu dan apa sudah tak berada lagi di sampingku. Aku masih  mengingat dengan manis raut terkejut Ambu dan Apa dua puluh tahun lalu ketika aku memberikan mereka sebuah toples kaca ukuran besar berisi suratku. Dahi mereka berkerut. Ambu bertanya kepadaku, “ naon ieu teh, Cep...”*** aku tersenyum simpul dan kujelaskan pada mereka. Maafkan aku, Ambu dan Apa karena aku memberi kalian sebuah pekerjaan rumah baru. Membaca ratusan suratku. Surat yang berisi rangkuman perasaanku pada kalian yang aku tulis setiap bulannya.
Aku juga tak akan pernah lupa ketika mereka selesai membaca semua suratku dalam waktu yang tak sebentar, mereka mengatakan sesuatu yang membuatku menangis sesenggukan. Ambu dan Apa mengatakan, “ doa Ambu sareng Apa di kabul ku Gusti Allah..tiasa ningal pun anak sakola luhur, jadi jalmi...Sing bageur, Ncep mapag kahirupan. Tebihkeun agul tur cakeutkeun hidep ka ajaran agama. Insya allah salamet dunia akhirat “****
Kini usiaku sudah empat puluh delapan tahun. Aku memiliki tiga putra seperti yang dimiliki Apa. Putra pertamaku kini berusia tujuh belas tahun. Sebuah usia dimana aku memulai proyek rahasiaku menulis surat. Dan cerita toples kaca antik itu adalah sebuah kenangan indah bagiku dan aku sudah membagi kisahku ini pada anak anakku. Bahkan aku masih menyimpan rapi surat suratku itu lengkap dengan toples kacanya yg masih terawat. Tulisan tangan ungkapan rasa cintaku pada orang tuaku. Sebuah awal yang tanpa aku sadari menumbuhkan kecintaanku pada dunia menulis. Aku ingin menulis lebih banyak buku di usiaku yang menua ini. Ya, aku kini menjadi seorang penulis sekaligus sebagai seorang dosen mata kuliah bahasa Inggris. Sebuah mata pelajaran yang sudah terpikirkan oleh Ambu akan menjadi sesuatu yang sangat diperlukan di masa depan. Dan ya, itu sudah terbukti sekarang....

*Panggilan untuk Ibu dan Bapak dalam bahasa sunda
** Zaman makin kesini makin maju. Jangan takut menuju sesuatu yang membawa diri pada kebaikan. Tidak ada salahnya kita belajar dari sekarang. Agar  bisa menghadapi zaman yang tambah maju.
***Apa ini?
**** Doa Ibu dan Ayah dikabulkan Allah. Bisa melihat anak sekolah tinggi, berhasil. Baik-baiklah menjalani kehidupan.. jauhkan diri dari sifat sombong dan dekatlah selalu dengan ajaran agama. Insya allah selamat dunia akhirat
 Ncep/cep : Panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa sunda


Cerpen diatas, tergabung dalam buku "Kado kecil untuk orang tua, Leutika Prio, 2012"
Menjadi juara kedua dalam lomba menulis yang di selenggarkan oleh penulis Dhe sheenzy :) founder Kampung sastra

Leave a Reply

Terimakasih sudah berkunjung. Salam, Lisna ^^