Ia
menggerutu. Desauan angin menceracau menusuk gendang telinganya. Sebuah
kesialan kah ia bertemu Nero di alam maya? Atau sebuah anugerahkah yang diberikan
Tuhan? Mayana menatap nanar. Dalam bayangan bola mata hitamnya ada sebuah asa semu. “Ah, dasar kau Nero! Satu
waktu, aku ingin kau enyah saja dari setiap sudut labirin otakku! Namun disatu
waktu lain aku begitu merindukanmu! Hah, gila!”
Mayana
memang sedang mengarah gila sepertinya. Ia sering bicara sendiri pada cermin
hatinya. Bukan...bukan sebuah kegilaan. Hanya sebuah perjalanan menuju sebuah
celah yang membangunkan dirinya dari tidur panjang. Mengetuk halus setiap ujung
syarafnya. Tentang sebuah rasa. Cintakah? Hmmm... Mayana tak mau berpikir.
Ia
ditikam buluh perindu. “aku ini bodoh atau memang terlalu pandai untuk
membodohi diriku sendiri?” lagi-lagi Mayana bicara pada angin yang enggan
menyapanya barang secuil pun. Angkuhnya sang angin membuat Mayana sendu. Ia
minta dibisiki sebuah jawab. Tanya itu apa? Dan apakah jawab adalah sebuah
penyelesaian dari tanya?
Mayana
di paksa jatuh. Ia tersungkur. Mendapati dirinya yang biru lebam. Lukanya tak
dapat diraba dan dilihat manusia manapun. Luka itu abstrak namun nyata. “ hei,
kau memang penjahat, Nero!”
Jemarimu
lentik dan gemulai serta mengandung sebuah unsur kesaktian. Mayana tak pernah
berada di alam nyatanya tatkala ia membaca satu
persatu rangkaian kalimat Nero. Berguru pada siapakah kau, hai Nero? Kau
memang terlalu pandai untuk membuat seorang Mayana dan puluhan perempuan lain menatap
penuh rona. Semua itu karena tuturmu!
Mayana
menulis diatas kertas, “apakah sebetulnya laki-laki di dunia ini adalah Nero?
Atau lebih tepatnya seperti Nero? Mayana di dera rasa tanya tentang sebuah
tanya. Benarkah semua laki-laki sanggup menjadi Nero?
Mayana
merengut, membiarkan bibirnya mengulum kesal. Nero...Nero...enyah kau Nero!
Mayana
benci.....tapi ia tak sanggup
Mayana
ingin mendaratkan tamparan di pipi Nero, tapi ia tak akan pernah bisa.
Ia
tak akan pernah bisa menyakiti Nero di alam nyatanya. Ia tak akan pernah mampu
untuk sekedar mengeluarkan umpatan kecil. Mayana yakin Nero akan membuatnya
kelu dengan pandangan dinginnya. Tanpa permisi langsung menuju sasaran puncak.
Sebuah ruang dimana Mayana bermukim dengan asa semunya.
Ia
antara ingin dan tidak untuk mengenyahkan Nero dari bumi hatinya. Ia ingin
menikam Nero melalui sebuah pertempuran kalimat. Ya, Mayana hanya akan sanggup
menikamnya melalui itu. Ia masih punya sisa kewarasan dan tak akan mungkin
melakukan “The real murder”
Bodoh sekali pikir Mayana kalau ia sampai melakukan itu. Lagipula, ia bukan
seorang penjahat.
***
Ia
menatap orang yang yang sekarang berdiri di depannya. Mayana beradu pandang,
“apa maksud kau memelototiku seperti itu, hah?!”
Mayana
sebalnya bukan main. Sang interogator itu menatapnya lekat-lekat. Sesungguhnya
ia merasa prihatin dengan Mayana. Dalam hatinya ia mengatakan bahwa Mayana
adalah seorang perempuan yang sedang berada dalam stres tingkat tinggi! Ia
merasa iba. Interogator itu melunak namun ia harus tetap menjalankan tugasnya.
Ah,
andai saja Mayana tahu bahwa bapak interogator itu memiliki rasa iba untuknya,
Mayana akan marah besar. Ia tak pernah suka orang-orang memberikan rasa iba
untuknya. Hanya ia yang boleh memberikan rasa iba untuk dirinya sendiri. Hanya
Mayana yang boleh mengasihani dirinya sendiri.
Mayana
mendesah. “Manusia aneh kau, Nero!!” arggghh...Mayana ingin kembali normal. Ia
tak ingin menjadi manusia abnormal. Mayana hilang dan berubah. Kemanakah Mayana
yang penuh dengan rasionalitas dan penuh idealisme? “gara-gara kau, Nero!!”
Nero
memang sanggup membuat para wanita memacu detak jantung mereka berjalan cepat
sekaligus lambat, tersihir oleh setiap kata dan kalimat. Mayana sungguh ingin
tahu bagaimana ekspresi wajahnya ketika ia menerima luncuran kalimat kagum dari
para wanita itu. Termasuk Mayana. Mungkinkah ia akan tertawa puas dan merasa
menang karena ia ternyata begitu pandai dan berbakat?
Rabb...Mayana
tak bisa menemukan dirinya sendiri. Mayana membutuhkan sebuah penjelasan logis.
Dan ia tak akan pernah menemukan jawaban logis itu. Semuanya irrasional dan
Mayana sadar itu. Ia sendiri yang memutuskan untuk jatuh cinta pada mahluk yang
memanggil dirinya Nero dan bergentayangan hanya di alam maya.
Nero
adalah misteri. Ia sengaja membuat dirinya menjadi sebuah teka-teki yang
menarik minat banyak kaum hawa. Dimanakah ia belajar ilmu yang membuat manusia
sekaliber Mayana bisa benar-benar dibuatnya “Deeply
struck” ?
Benarkah
Mayana amat jatuh cinta pada Nero? Atau hanya pada tulisannya kah? Mayana
bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan hatinya. Ia tak tahu Nero. Mayana
melupakan soal kriteria fisik yang dibuatnya untuk calon pendamping hidupnya.
Ia tak tahu bentuk Nero. Ia hanya tahu Nero seorang jenius pencipta kalimat.
Dan Mayana tak peduli pada apa pun. Ia hanya peduli pada kata hatinya yang
mengatakan bahwa ia memang benar benar mencintai sang pemilik jari ajaib itu.
Mayana
memainkan jemarinya. Sang interogator itu masih berdiri di depannya.
“Masih
tidak mau juga kau jelaskan perihal kelakuanmu, hai Nona...”
Mayana
seperti kepiting rebus sekarang. Ia memerah dan bergumam, “apa kau bilang?
Kelakuanku? Memangnya aku berbuat apa?! Enak saja kau bicara!”
Aku
atau dia yang bodoh... Mayana bergumam sengit.
“
Aku tak akan pernah mungkin membunuh Nero! Kau dengar itu?!”
Sang
interogator tersenyum kecil.. “cobalah untuk mengelak terus, Nona....kau
mengatakan padaku kalau kau tak akan sanggup membunuh Nero karena ia berharga
untukmu. Tapi sepertinya kau lupa satu hal, Nona...”
Mayana
tampak berfikir. “maksudmu?”
“Cinta
seringkali membuat orang kehilangan akal sehat, pernahkah kau mendengar sebuah
kasus dimana ada seorang perempuan yang begitu mencintai pria nya lantas
membunuhnya dengan alasan karena ia begitu mencintanya?...”
Mayana
mendengus. “mana ada...asal bicara saja, anda ini...”
Sang
interogator itu meneruskan kalimatnya, “perempuan itu mengatakan ia membunuh
pria yang dicintainya karena ia tak rela berbagi dengan perempuan lain.
Sepertinya pria itu memiliki banyak penggemar wanita dan perempuan itu hanya ingin pria itu dimilikinya seorang...kecenderungan
memiliki yang amat sangat”
“Hah,
gila!!.... ia membunuhnya dan itu berarti ia juga tak akan bisa memilikinya. Hah,
otak perempuan itu kacau benar” Ucap Mayana
“Secara
logika memang seperti itu. Tapi cinta membuatnya tak bisa berfikir jernih. Ya,
mungkin perempuan itu memang memiliki gangguan psikologis. Tapi bisa anda
lihat, Nona bahwa mencintai bukan berarti tak bisa menyakiti yang dicintainya itu...jadi
mungkin saja anda juga seperti itu..”
Mayana
disulut emosi. Ia tersinggung benar dengan ucapanya. Ingin ia memaki orang yang
ada dihadapannya sekarang, tapi ia bertahan untuk tidak terlihat bodoh. Ia
berusaha untuk menang dan tak membiarkan amarah menguasai dirinya.
“Bapak
yang terhormat, sungguh ucapan anda barusan telah menyakiti hati saya. Secara
tidak langsung anda mengatakan bahwa saya sama dengan perempuan gila itu bukan?
Saya turut prihatin dengan pola pikir anda yang terlalu cepat menyimpulkan.
Sepertinya anda memiliki banyak sekali masalah yang membuat anda berburuk
sangka!!” Mayana ketus.
Sang
interogator itu memerah wajahnya. Tapi ia enggan menanggapi kalimat Mayana. Sementara itu
Mayana tersentak dengan ucapannya sendiri. “bicara apa aku tadi?” Mayana
merunut lagi apa yang sudah di ucapkannya sedari tadi. “Maafkan aku, Tuhan yang
maha Pemurah. Aku tak bisa mengendalikan emosi dan kegalauanku..”
Mayana
terbangun dengan kemarahannya sendiri. Ah, cinta..cinta...cinta....hal yang
rumit dan penuh rahasia. Mayana ingin menggapai hal itu.
***
Di
depan Mayana tergolek sebuah laptop. Sang interogatornya itu yang
memberikannya. Sebelumnya Mayana merengek. Lebih tepatnya memaksa untuk di
berikan laptop. Ia mengatakan bahwa ia bisa membuktikan bahwa ia sama sekali
tak benar-benar membunuh Nero. Ia juga mengatakan bahwa Nero masihlah hidup dan
tak ada luka sama sekali di tubuhnya. Setelah perdebatan yang cukup alot, sang
interogator terketuk hatinya untuk mengikuti permintaan Mayana.
Mayana
mengelus halus tuts keyboard. Ia memainkan jemarinya sebentar. Dan langsung
meluncur membuka pintu dunianya bersama Nero. Setelah memasukan kata sandi, ia
masuk ke dalam ruang pribadinya. Matanya bertumbu pada satu pesan masuk baru.
Ia mengklik dan ada pesan singkat dari Nero! Sepuluh menit yang lalu. Mayana
memberi aba-aba agar polisi itu mendekat. Ia menunjuk pesan dari Nero yang baru
sepuluh menit yang lalu diterimanya.
“Nggak
mungkin kan orang yang sudah wafat bisa mengirim pesan begini?” tutur Mayana
Polisi
itu menaikkan alisnya. “Belum tentu, Nona...bisa saja itu orang lain yang
memakai akunnya si Nero itu..”
Mayana
mendesah. Aku hafal betul gaya tulisan Nero dan itu memang pesan dari Nero.
Bukan orang lain seperti yang dikira polisi itu. Untuk sejenak, Mayana tak
menghiraukan polisi itu. Seperti biasanya, ia akan begitu serius membaca kata
perkata kalimat Nero. Nero menulis beberapa kalimat untuknya,
“Matahari
pagi yang menyembul di bukit damai. Warnanya tak ada yang dapat menyaingi dan
mewakili. Ia begitu lembut dan bijak. Dalam pagi yang hangat aku menyapamu,
gadis....”
Hanya
itu yang ditulis Nero. Tapi model secuil kalimat seperti itulah yang membuat
Mayana dan perempuan lainnya terseret ke dalam dunia Nero. Mayana sungguh ingin
membalas pesan Nero, tapi di urungkannya. Ia tak ingin polisi itu melihat apa
yang akan di tulis Mayana untuk Nero. “mengapa harus ada kau, Nero dalam cerita
hidupku” ucap Mayana dalam hati.
Mayana
ada dalam diam sekarang. Ia sedang merenungi apa yang sudah terjadi. Ia
mengetuk ngetukkan jemarinya. Tiba tiba dia muncul dari ruang chat!
“hai,
gadis...apa kabarmu?”
Mayana
memicingkan mata. Nero!
Mayana
memerintahkan sang polisi itu untuk mendekat. Ia ingin melihat bahwa Nero
mengajaknya chat dan sudah tentu itu akan membuktikan bahwa Nero masihlah hidup
dan ia tak benar benar membunuh Nero.
“Kau
peduli kabarku, Nero?” tulis Mayana
“Sang
mawar berduri namun memiliki kelopak indah sedang sedikit ketus rupanya. Kau
ragu, hai gadis?”
“Aku
meragukan ketulusanmu menghawatirkan aku. Kau penggombal ulung...”
“Haha...terimakasih
atas sanjungannya Nona manis....tapi sungguh, aku tak ingin kau meragukanku..
“Jaminan
apa yang akan kau berikan agar aku percaya?”
Nero
disudut sana tampak merenung. Mayana tak tahu kalau batinnya sedang meronta. Ia
memang pernah menjadi penjahat, sebagai pembuktian bahwa ia adalah seorang
laki-laki. Tapi bukankah itu cerita lalu? Ritme jantungnya menghentak. Ada
selaput tipis yang membayangi hati Nero. Menyelimutinya denga sebuah alur dan
rasa. Ia sadar itu dan ia hafal betul apa itu.
“Aku
tak bisa memberimu jaminan apa-apa..” ucap Nero singkat.
“Sudah
aku duga...” jawab Mayana dengan singkat pula. Mayana berdialog dengan hatinya
sendiri. Ia tak boleh percaya pada Nero. Ia sudah merasa bodoh dan ia tak mau
lagi menjadi bodoh. Mungkin Nero sedang terbahak di ujung sana, menertawai
dirinya yang sudah berhasil menjadi daftar korbannya di dunia maya. Mayana
merasa Nero sudah memasukannya ke dalam sebuah ruang dimana ia tak bisa mengeluarkan
emosinya secara utuh.
“Mayana...Mayana....”
Nero kembali membuka percakapan.
“Kau
sudah tahu namaku memang Mayana. Tak perlu kau ulang-ulang begitu..” Mayana
sengit
“Aku
hanya ingin menyimpan nama itu dalam sebuah kotak ajaib dalam otakku...”
“Bicara
apa kau ini, Nero...”
Nero
tak langsung mengetik jawaban dari pertanyaan Mayana. Ia bergumam sendiri dan
hanya ia yang bisa mendengar kata-katanya. Ia ingin menyimpan sebuah nama yang
penuh rona itu dalam sebuah kotak ajaib yang ia sebut sebagai “Kotak Mimpi”
Nero
memutuskan menamainya dengan Kotak Mimpi karena baginya Mayana hanyalah sebuah
asa yang tak mugkin ia gapai. Perempuan itu ia rasa terlalu indah untuknya.
Entah mengapa kali ini ketika ia berhadapan dengan seorang gadis yang bernama
Mayana ia tak bisa menunjukkan sisi beraninya seperti ketika ia berhadapan
dengan perempuan lain. Di hadapan Mayana ia tak bisa merasa puas dan percaya
dengan dirinya sendiri. Mayana terlalu istimewa untuk laki-laki seperti
dirinya. Ia mengatakan kalau ia tak akan pernah mencapai kata sepadan
berdampingan dengan gadis itu.
Mayana
hanyalah sebuah mimpi.
Sementara
itu Mayana dalam diamnya bergumam tentang apa yang disebutnya sebagai sebuah
Maya. Ia meyakini bahwa Nero adalah sebuah Maya. Ia merasa tak mungkin bisa
bersama Nero. Entah mengapa ia kali ini bisa pesimistis seperti itu. Ia merasa
Nero terlalu jauh dari jangkauannya. Ia tak hanya akan menjadi miliknya, tapi
juga menjadi milik perempuan lain. Ia bukan tipe orang yang suka membagi
cintanya dengan perempuan lain.
Sementara
Nero? Justru ia tipe laki-laki yang senang membagi rasa dengan banyak perempuan.
Luncuran kalimat manis penuh magic
tak hanya ia umbar untuk Mayana, tapi juga untuk beratus, beribu bahkan mungkin
berjuta perempuan.
Mayana
dan Nero makin menjauh. Mereka sedang berkutat dengan persepsinya masing-masing
yang mereka ciptakan berdasarkan alam hayal dan pemikiran mereka yang memaksa.
Dua
manusia itu rupanya sedang menciptakan jalan cerita cinta mereka masing-masing.
Lupakah mereka bahwa ada yang lebih pintar menciptakan sebuah cerita yang
sangat mungkin terjadi dan itu semua di luar jangkauan pemikiran mereka!
Ah,
tak ada yang tak mungkin di dunia ini jika DIA, Rabb sang pemilik hati ini
sudah berkehendak. Persepsi mereka akan terpatahkan oleh sesuatu yang bernama
takdir. Mereka tak bisa lagi mengatakan bahwa Nero begini dan Mayana begitu dan
mereka pastilah akan begini dan begitu jika saja Rabb mereka menghendaki mereka
berjalan bersama dalam sebuah kondisi yang penuh restu.
Nero
dan Mayana ada dalam diamnya masing-masing.
Polisi
yang sedari tadi memperhatikan Mayana dan tulisannya di ruang chat mengedikkan
bahu. Ia keheranan kaarena dialog Mayana dan orang yang disebutnya Nero itu
sungguh terlihat aneh baginya.
“Nona,
sejak tadi kuperhatikan isi chat mu, sebenarnya apa yang sedang anda berdua bicarakan?
Obrolan yang aneh..”
Mayana
tersenyum tipis mendengar kalimat polisi itu.
“Tentu
saja dia tak mengerti apa yang kami bicarakan karena bahasa kami berdua memang
absurd..” Mayana terkekeh dalam hati. Ia membiarkan saja polisi itu dalam rasa
penasarannya.
“Kau
masih disitu, May?” Nero kembali setelah ia berada dalam diamnya.
“Aku
tak pernah beranjak dari tempatku. Bahkan aku memang tak bisa beranjak. Kau
mungkin yang sudah pergi atau memang sebaiknya kau yang memang harus pergi?”
Nero
tersenyum simpul. Ia tahu Mayana tak benar benar menyuruhnya pergi. Ia tahu
bahwa Mayana tak pernah menginginkannya untuk pergi. Ia tahu apa yang dirasa
perempuan itu.
“Ah....”
hanya itu yang ditulis Nero
Dan
sesaat kemudian Nero menghilang dari ruang chat. Mayana mencoba membuka matanya
lebar-lebar dan ia tak menemukan lagi
Nero. Ia pergi. Benar-benar pergi seperti yang diperintahkan Mayana. Ia
limbung. Ia tak tentu rasa. Bukan...bukan maksudunya seperti itu. ia tak
benar-benar mengusir Nero. Mungkin ia tidak sadar dengan apa yang ditulisnya
tadi.
Kerongkongan
Mayana serasa tercekat. Ia memang ingin Nero pergi tapi ia tak ingin. Ia tak
sanggup Nero pergi. Ia membenci Nero tapi sesungguhnya tak pernah bisa. Dan
sekarang karena kalimat Mayana, Nero benar-benar pergi!
Satu
sisi Mayana berkata, “Ah, sudahlah May. Tak perlu kau risaukan Nero menghilang.
Mungkin ini memang saatnya kau tak melihatnya lagi. Ini saatnya kau keluar dari
keabnormalanmu....”
Satu
sisi Mayana yang lain berkata, “ Kau sungguh ceroboh May. Kau ini tukang
bohong. Kau tak pernah mau mengakui apa yang kau inginkan dan kau rasakan. Kau sudah
kehilangan Nero dan kau hanya akan bisa mengatakan...kita baru akan merasa
kehilangan kalau kita sudah benar-benar kehilangan...”
Mayana
pasrah. Ia tak bisa mengenali dirinya sendiri. Mungkin ia harus benar-benar menyerahkan
segala aspek kehidupannya pada-NYA. Ia memang bodoh dan tak tahu apapun. Ia
mungkin akan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan mahluk yang bernama
Nero. Biarlah DIA yang mengatur urusannya. Lidah Mayana kelu.
“Sial!”
kata Nero. Laptopnya tiba-tiba saja mati. Nero belum sempat melanjutkan chatnya
bersama Mayana. Ia hanya sempat menulis kata “Ah...” ya, laptopnya memang
sering mati sendiri. Mungkin memang sudah seharusnya begitu sebagai ganjaran
karena ia sering menempelkan jari jemarinya di tuts keyboard menulis kalimat
kalimat gombal yang membuat banyak wanita tertegun.
“Kau
pasti berpikir aku benar-benar pergi karena ucapanmu....ketahuilah, May....aku
tak akan benar-benar pegi darimu...
***
“Dia
benar-benar pergi..” ucap Mayana pada polisi itu
“Maksudmu,
Nona?”
Mayana
hanya diam dan polisi itu sedang berusaha mencerna kalimat Mayana. “Jangan jangan
maksud kalimat Mayana itu untuk mengatakan bahwa pria yang dipanggilnya Nero
itu memang sudah mati..kiasan kata pergi itu sebenarnya untuk menyebut mati....”
polisi itu hanya menebak saja.
Mayana
menopang dagunya. Ia mendesah.
================================================================
Bagi yang belum 'ngeh' dengan alur dan tokoh dalam cerita di atas, yuks disimak :)
Nero dan Mayana adalah tokoh sentral dalam sebuah novel berjudul "Mayasmara" karya Dian Nafi. Sang penulis kemudian mengadakan sayembara menulis novelet dengan menggunakan kedua tokoh tersebut. Mengembangkan cerita dari tokoh tersebut versi kita sendiri.
Dan tulisanku di atas, masuk dalam seleksi dan ikut dibukukan dalam kumpulan cerita yang di beri judul "Mayaseries". Yang belum baca novel "Mayasmara karya Dian Nafi, bisa berburu bukunya ya ^^ dan bagi yang ingin membaca buku "mayaseries" bisa hubungi penerbit Hasfa via Fb.